China Benteng - Balaraja untuk kita semua

Breaking

Sunday, February 11, 2018

China Benteng




Wajah kota Tangerang dari permukaan tidak terlalu khusus, kita hanya melihat bangunan industri yang gagah, pusat perbelanjaan dan bus yang datang dan pergi sebagai kota satelit. Tetapi jika Anda menyelam lebih dalam, kota ini memiliki sejarah masa lalu yang luar biasa. Dari zona perjuangan hingga akulturalitas antara Cina dan masyarakat adat yang kita kenal sekarang sebagai Benteng Tiongkok (Ciben).



Warga negara Cina telah hidup dari generasi ke generasi. Mereka yang awalnya tinggal di Tangerang kini telah menyebar ke berbagai kota lain di Indonesia.

Sejak abad ke-17, para migran Cina datang ke daerah Tangerang untuk berbisnis, terutama di sekitar benteng Belanda. Daerah yang telah menjadi pangkalan pertama bagi etnis Tionghoa sekarang adalah Chinatown Tangerang. Lokasi ini terletak di sepanjang Sungai Cisadane, area Pasar Lama, Biara Boen Tek Bio dan Museum Benteng Warisan.

Orang Cina pertama yang mendarat di Teluk Naga (Tangerang) adalah Chen Ci Lung pada 1407. Ia adalah leluhur leluhur "benteng Cina" di wilayah Tangerang.

Jika dilihat, benteng etnis Tionghoa menengah memiliki kulit lebih gelap daripada etnis Tionghoa pada umumnya.





Festival "Bakcang" dan "Perahu Naga" adalah salah satu budaya yang terus dipupuk oleh orang Cina setiap tahun di wilayah ini.


Akulturasi dan Tragedi di Daerah Perebutan 




Sebutan Cina Benteng bagi Warga keturunan Tionghoa tidak lepas dari sejarah keberadaan Benteng Makasar dan filosofis nama Tangerang. Asal kata nama Tangerang menurut tradisi lisan, berasal dari nama bahasa Sunda yaitu “tengger”  dan “perang.” Tengger artinya tanda segala sesuatu yang didirikan dengan kokoh, yaitu tugu yang didirikan sebagai simbol batas wilayah kekuasaan kesultanan Banten dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)—perusahaan dagang asal Belanda. Sedangkan pengertian perang yang dimaksud bila kawasan ini menjadi medan perang antara kesultanan Banten dengan tentara VOC. Jadi Tangerang bermakna “batas perang.”



Benteng  (Fort) yang didirikan oleh VOC pada tahun 1683 dikenal dengan nama Benteng Makassar, karena penjaganya kebanyakan orang Bone (dianggap orang Makassar) tujuanya untuk pembatas wilayah kesultanan Banten. Keberadaan benteng pertahanan dipisah oleh sungai Cisadane, benteng Banten di sebelah barat dan VOC sebelah kiri. VOC lalu membuka hak milik bagi orang-orang yang akan membuka lahan di kawasan yang masih hutan belukar, kesempatan ini digunakan keturunan Tionghoa ini yang pandai bertani untuk mendiami lahan di sekitar Benteng. Sehingga, sebutan Cina Benteng melekat pada keturunan Tionghoa di Tangerang hingga saat ini.



“Jadi yang membuka lahan di sini adalah orang-orang berasal dari keturunan Tionghoa.  Dibuat oleh Belanda untuk menghambat Sultan Banten. Yang menjadi batasnya sungai Cisadane. Dulu berasal dari babakan ke Sungai itu banyak bangker-bangker, saat ini telah kena erosi  dan punah juga bentengnya” Jelas Tjien Eng, sembari mengenang.  Tjin Eng menambahkan,“sebenarnya sebutan Cina Benteng yah di sini (Pasar Lama), tapi banyak yang bilang sampai ke bermacam perbatasan Tanggerang, menjadi dilumrahkan saja.” Mirisnya benteng Makassar telah tergantikan oleh  Plaza Tangerang. Arkhaik bersejarah ini tak mampu dicermati dan hanya tinggal ingatan saja.


Selain vihara "Boen Tek Bio", salah satu situs kuno yang bisa menjadi saksi bisu sejarah dan budaya budaya warga China Benteng adalah "Fort Heritage Museum" yang terletak tidak jauh dari Vihara dan keduanya terletak di pusat pasar Chinatown lama. Tepatnya Cilame nomor 20. Bangunan Museum Warisan Jalan Benteng dengan arsitektur Cina merupakan hasil restorasi bangunan rumah-rumah tua yang diyakini terdiri dari abad ketujuh belas. Pada tahun 2009, Udaya Halim adalah salah satu tokoh Benteng Tiongkok yang peduli dengan sejarah leluhur mereka, menyulap rumah ini dengan proses dua tahun untuk menjadi museum pada tahun 2011.

Ada dua lantai di museum yang menghubungkan kehidupan masa lalu China Benteng, seperti tulisan di tangga Djamban yang bertuliskan huruf Mandarin dan istilah 1873. Isinya adalah dukungan orang Cina pada masa pemerintahan Kaisar Thong Tjie di Boen Tek Bio mengumpulkan orang dan uang untuk 30 pembangunan jalan. Dari prasasti ini kita dapat melihat bahwa di masa lalu, keturunan Cina juga berkontribusi pada perkembangan kota Tangerang.



Di lantai dua, ada cerita tentang Benteng kecap dan patung-patung dewa juga, sepatu wanita kecil yang, menurut tradisi Cina, digunakan oleh wanita dewasa untuk setia kepada suami mereka. Ada juga ukiran pernikahan dan video benteng Tiongkok. Sayangnya, semua dokumentasi historis di lantai dua tidak dapat difoto oleh kamera.

Dengan mengamati warga China dari artefak sejarah, dalam kehidupan sehari-hari mereka telah mengalami akulturasi dengan masyarakat lokal Betawi dan Sundan. Melalui pernikahan campuran, seni, bahasa, dan ritual keagamaan.

No comments:

Post a Comment