Bicara tentang masuknya islam ke pulau jawa, pasti berhubungan langsung dengan peristiwa runtuhnya kerajaan majapahit. Sebagian besar dari kita mungkin saat ini menganggap bahwa keruntuhan majapahit benar-benar dikarenakan oleh masuk islam di pulau jawa (serangan Demak ke majapahit). Tapi bahasan berikut mudah-mudahan menjadi pembanding bagi kita, bahwa itu tidak semuanya benar.
Selamat membaca.
Kitab Darmagandul menyebutkan bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan semata-mata karena serangan dari kadipaten Demak di bawah pimpinan Adipati Jimbun Patah. Dengan sangat yakin pengarang Darmagandul memaparkan hal tersebut sehingga boleh dikatakan bahwa buku tersebut menolak kemungkinan selain itu. Akan tetapi telah kita buktikan di atas bahwa buku Darmagandul tersebut bukan ditulis pada masa transisi antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak, sebagaimana anggapan sebagian kalangan. Maka sejumlah item yang dipaparkan oleh Kitab Darmagandul boleh diabaikan sebagai sumber sejarah, sebab bukan merupakan sumber utama sejarah yang terpercaya sekaligus dimuati sejumlah kepentingan dan motif tersembunyi. Namun demikian keruntuhan Majapahit patut mendapatkan porsi pembahasan tersendiri.
Berdasarkan kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah nusantara sejak Abad pertama hijriyah.[1] Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.[2] Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[3] salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah.[4] Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya,[5] adalah tidak benar.
Dalam era kerajaan Majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar.[6] Alasannya, pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam.[7]
Bahkan, jika menilik salah satu kompleks pemakaman Majapahit dapat digambarkan bahwa telah banyak bangsawan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam dan tetap mengabdi kepada pemerintahan. Ditengarai kerukunan agama juga nampak di sana. Denys Lombard mengungkapkan bahwa di Jawa Timur terdapat salah satu prasasti Arab tertua, yaitu parasasti Leran dari abad ke-11, ditambah pula adanya prasasti pada makam Malik Ibrahim, yang mungkin sekali adalah pedagang dari Gujarat. Prasasti itu berangka tahun 1419 dan terletak di Gresik, dekat Surabaya. Tetapi justru di situs ibu kota lama Majapahit sendiri-lah, di dekat kota Mojokerto sekarang, di pekuburan-pekuburan lama Trowulan dan terutama di Tralaya, L.-Ch. Damais telah menemukan makam-makam Islam yang paling menarik. Ada beberapa yang memuat teks suci pendek dalam Bahasa Arab, akan tetapi nama orang yang dikubur tidak pernah disebut (kecuali satu kali). Kalau disebut,perhitungannya menurut tarikh saka, kecuali satu kali menrut tarikh hijriah. Ada 3 makam dri abad ke-14 (1368, 1376, dan 1380 M) dan delapan dari Abad ke-15 (antara 1407 dan 1475), tetapi mungkin saja ada prasasti bertahun lain yang lolos dari penelitian di salah satu pekuburan di Jawa Timur. Di Trowulan terdapat makam yang pantas disebut secara khusus, karena menurut tradisi dianggap sebagai makam seorang Puteri Cempa, dan berangka tahun 1370 Saka, atau 1448/9 M.[8] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dakwah Islam bukan hanya berkembang dikalangan rakyat jelata namun telah merambah kepada kalangan bangsawan Istana Majapahit. Sementara itu kerukunan antar agama terjadi pada masa itu.
Sementara itu dakwah Islam telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana Majapahit dan berpengaruh terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang telah menganut agama Islam, sebagaiannya pindah keluar istana menuju daerah pantai yang dikuasai oleh para bupati yang telah beragama Islam.[9] Alasannya adalah demi toleransi dan mendapatkan kemerdekaan beragama. Dengan semakin berkurangnya sejumlah bangsawan dilingkungan kerajaan dan didiringi dengan semakin banyaknya rakyat Majapahit yang memilih Islam maka bisa dipastikan kerajaan tersebut menjadi semakin lemah.
Banyak sejarawan menggambarkan zaman keemasan Majapahit sebagai berlangsung selama masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, disertai oleh Patih Gajah Mada. Namun setelah kematian Patih Gajah Mada, Majapahit mengalami krisis kepemimpinan. Pelatihan para eksekutif yang mengarah ke persiapan generasi pemimpin berikutnya tidak berjalan dengan baik. Salah satu alasannya adalah bahwa kepemimpinan didasarkan pada keturunan, bukan pada keahlian. Otoritas politik yang dihasilkan oleh kekuatan perang merupakan faktor penentu dalam masa kejayaan dan keemasan Majapahit. Setelah Gajah Mada, kekuasaan otoritas kerajaan mulai melemah karena berbagai perebutan kekuasaan dan intrik politik, menyebabkan melemahnya negara, yang pangkalan militernya menjadi bagian darinya.
Selama kehidupan Patih Gajah Mada, kerajaan Hindu Jawa ini akan hampir berhasil mengendalikan kepulauan secara keseluruhan. Kerajaan Sriwijaya di masa lalu juga dianggap tidak mampu menangani kendali atas wilayah seperti itu. [10] Kemuliaan Majapahit dibangun melalui perang dan penaklukan wilayah yang menyerbu pulau Jawa. Proses untuk mencapai keberhasilan semacam itu tentu saja memiliki sejumlah konsekuensi turunan. Kerajaan nusantara pada waktu itu sebagian besar adalah pemerintahan yang merdeka. Ini berarti bahwa kerajaan tidak pernah memposisikan diri sebagai koloni, karena esensi setiap kerajaan adalah manifestasi dari negara merdeka. Setelah penaklukan Majapahit di wilayahnya, posisi "kemerdekaan" ini telah berubah. Kerajaan-kerajaan lain pada akhirnya harus "dibuang" untuk menjadi negara kekaisaran Majapahit yang ditaklukkan. Dengan kata lain, negara-negara yang ditaklukkan menganggap Majapahit sebagai penjajah.
Babad Soengenep, misalnya, sebuah buku yang menggambarkan asal daerah Sumenep di Madura dengan jelas menggambarkan kebencian masyarakat Soengenep terhadap kerajaan Majapahit. Buku ini menceritakan bagaimana penaklukan Soengenep oleh Majapahit berdarah dan munculnya pahlawan lokal bernama Kudapanole dalam perang melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. [11] Meskipun buku ini kemungkinan dikompilasi di lain waktu, semangatnya bukan tanpa akar yang dalam. Semangat yang digambarkan oleh kronik adalah jiwa dari perlawanan kuat terhadap pendudukan negara lain. Karakteristik suatu bangsa yang ingin memiliki kemerdekaannya sendiri.
Demikian pula, kisah-kisah tentang serangan Gajah Mada di beberapa daerah di Sumatra, yang menyebabkan kekejaman dalam bentuk pembunuhan, penjarahan dan kebakaran, pada umumnya hanyalah cerita. [12] Termasuk kisah penghancuran kerajaan silo di Simalungun oleh Tentara Majapahit. [13] Selain itu, sejarah yang mendasari perang Bubat umumnya hanya dikomentari oleh para sejarawan. Perang Bubat ini adalah kesalahan besar dalam diplomasi Majapahit. Di mana ada kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk menikahi putrinya di Prabu Hayamwuruk. Maharaja Pajajaran kemudian mengirim putrinya ke sebuah arena bernama Bubat. Sesuai dengan kebiasaan lama, raja Sunda ingin menunggu kedatangan menantu untuk datang dan menjemput tunangannya [14]. Tapi apa yang terjadi selanjutnya adalah hal yang menyedihkan. Sejak awal, Gajah Mada berasumsi bahwa Pajajaran akan menjadi tanah yang ditaklukkan oleh Majapahit, sehingga proses pernikahan tidak terjadi, tetapi berakhir dalam perang dengan kematian Maharaja Pajajaran. Sikap Gajah Mada yang berlaku dengan cara ini biasanya menjadi objek reaksi sejarawan "dingin".
H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp dan I. P. Simandjoentak menunjukkan bahwa ketidaksetiaan ekonomi pemerintah Majapahit adalah penyebab lain runtuhnya Majapahit. Dikatakan bahwa mata pencaharian utama penduduk Majapahit adalah pertanian. Para petani ini umumnya memiliki loyaliya besar menuju Majapahit. Namun, kelompok ini tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan dan bahkan tidak mengetahui seluk beluk pemerintah Majapahit. Orang kaya dan pedagang merupakan kelompok lain yang terpisah dari para petani. Kelompok-kelompok ini umumnya memiliki pengaruh terhadap kehidupan ekonomi, tetapi pada kenyataannya merasa independen terhadap Majapahit. Sejak awal, mereka merasa bahwa mereka tidak tunduk pada pemerintahan Majapahit. Perceraian kedua kelompok ini, yaitu para petani dan pedagang atau orang-orang kaya, yang dianggap sebagai salah satu penyebab masa depan persatuan Majapahit. [15]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dukungan untuk pemerintahan Kerajaan hanya didukung oleh kesetiaan para petani. Bahkan kesetiaan para petani ini biasanya tidak didasarkan pada pengetahuan menyeluruh tentang sifat pemerintah kerajaan. Sedangkan para pedagang dan orang-orang kaya yang banyak mempengaruhi perekonomian adalah bagian dari pihak-pihak yang tidak loyal. Terutama setelah orang-orang kecil terdiri dari para petani ini, ada banyak di masa depan yang memeluk Islam, kekuatan pengikut Majapahit berkurang dan otoritas kerajaan telah menurun secara dramatis.
W. B. Sidjabat memiliki analisis lain terkait penyebab keruntuhan Majapahit. Faktor-faktor ini termasuk frekuensi banjir besar di Sungai Berantas, salah satu sungai yang penting secara strategis untuk perkapalan dan ekonomi Majapahit. Ini menghasilkan pengurangan perdagangan di Sungai Berantas. Selain itu, setelah meletusnya Gunung Kelud, Sungai Berantas menjadi dangkal karena aliran lava dan alirannya ke laut, sehingga total berhenti dari pelayaran di Canggu. Belum lagi perjuangan untuk mahkota kerajaan membantu melemahkan potensi penuh Majapahit. [16]
Di pangkalan, Majapahit lemah secara politis karena perang Paregreg, yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang itu merupakan perebutan takhta antara Suhita (putri Wikramawardana) dan Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada 1478, Dyah Kusuma Wardhani dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari takhta Majapahit. Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada 1479, Wirabumi, putra Hayam Wuruk, berusaha menggulingkan kekuasaan untuk melepaskan perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dipadamkan, tetapi karena alasan ini Majapahit melemah dan wilayahnya mencoba untuk berpisah. Dengan demikian, penyebab utama penurunan Majapahit disebabkan oleh berbagai pemberontakan setelah pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya ekonomi, pengganti yang kurang kompeten, dan menurunnya otoritas politik. [17]
Dengan demikian, penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan oleh menurunnya popularitas kerajaan Hindu di mata rakyat. Keberadaan Majapahit diliputi oleh munculnya kerajaan Demak, yang seharusnya membawa angin dan perubahan baru. Selain itu, Demak juga menguat setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban dan Madura [18], di mana daerah-daerah ini sebelumnya merupakan wilayah Majapahit. Dengan demikian, tuduhan buku Darmagandul bahwa runtuhnya Majapahit adalah karena fakta bahwa ia "ditambang" oleh ulama Muslim dari dalam [19] dan hanya karena serangan terhadap kerajaan Demak terbukti salah.
Jadi mengapa sejarah negara ini tidak menguntungkan bagi umat Islam? Pada runtuhnya Majapahit, buku-buku teks sejarah sering mengulang bahwa salah satu faktor adalah serangan terhadap Kesultanan Demak. Informasi seperti itu biasanya hanya dinyatakan tanpa menunjukkan dengan jelas mengapa Demak harus menyerang Majapahit. Pada akhirnya, pendirian Demak dipandang sebagai produk ekspansi dalam menyebarkan ajaran Islam di Jawa.
Prof. Dalam bukunya "Javaansche Geschiedenis", N. J. Krom menolak gagasan bahwa partai yang menyerang Majapahit selama Prabu Brawijaya V (Kertabhumi) adalah Demak. Tapi, menurut prof. Serangan krom yang menewaskan Prabu Brawijaya V dipimpin oleh Prabu Girindrawardhana. Demikian juga prof. Moh. Yamin dalam buku "Gajah Mada" menjelaskan bahwa Raja Kertabhumi atau Brawijaya V telah terbunuh di istana yang diserang Prabu Rana Wijaya dari Keling atau Kediri. [20] Prabu Rana Wijaya yang dimaksud adalah nama lain untuk Prabu Girindrawardhana.
Teori serangan Prabu Girindrawardhana di Majapahit ditolak oleh Prof. Slamet Muljana. Menurut Muljana, nama Girindrawardhana akan ditemukan dalam prasasti Jiyu Saka yang berusia 1408 tahun atau 1486, delapan tahun setelah tahun itu dianggap sebagai periode keruntuhan Majapahit setelah serangan Demak. Muljana kemudian menghubungkannya dengan kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong di Semarang. Muljana menyatakan bahwa menantu Kertabhumi telah menjadi bawahan Demak dan harus membayar upeti. Tanggal tahun yang digunakan adalah 1488. Angka yang disebutkan dalam kronik Cina disebutkan dengan nama Pa Bu Ta La. Slamet Muljana berspekulasi bahwa arti Pa Bu Ta La adalah Girindrawardhana, karena, menurutnya, kata Ta "adalah transkrip dra sebagai bagian dari nama Girindrawardhana. [21] Dari analisis ini, disimpulkan bahwa Girindrawardhana tidak dapat menyerang Majapahit karena Girindrawardhana sebenarnya tunduk pada Demak. Menurut Muljana, Demak yang menyerang Majapahit selama Prabu Brawijaya V.
Namun, analisis Dr. Slamet Muljana membingungkan dan terlalu spekulatif. Seolah ini tidak membuka kemungkinan lain untuk makna sejarah. Pertama, Muljana menggunakan angka 1486 untuk mempertimbangkan keberadaan Girindrawardhana setelah jatuhnya Majapahit. Meskipun pada tahun 1468, itu lebih dari setahun bahwa prasasti Jiyu, bukan manifestasi dari keberadaan Girindrawardhana. Tentu saja, menulis di Girindrawardhana bisa saja ditulis kemudian. Kedua, hubungan antara kata "Ta La" dan dra sebagai bagian dari nama Girindrawardhana adalah bentuk spekulasi yang berlebihan. Metode pengerjaan ulang mental seperti itu tampaknya terlalu berisiko untuk menafsirkan sejarah. Justru dengan membuka kemungkinan lain bahwa jawaban yang lebih rasional akan ditemukan. Misalnya, dengan mengaitkan nama "Pa Bu Ta La" dengan Prabu Udara (Brawijaya VII), Anda akan mendapatkan analisis yang lebih baik. Coba perhatikan bahwa kata "Ta La" lebih sesuai dengan kata "perawan" sebagai bagian dari nama "Prabu Udara". Demikian pula, kata "Pa Bu" adalah elemen yang mewakili kata Prabu. Metode kedua ini diakui sebagai spekulatif, tetapi jelas lebih rasional dari metode sebelumnya.
Setelah perebutan kekuasaan di Majapahit antara Patih Udara dan Girindrawardhana dengan hasil akhir dari kemenangan atas Patih Udara. Pelatih udara yang kemudian menggunakan gelar Air Parbu atau Brawijaya VII benar-benar khawatir tentang ancaman kekuasaannya karena kesultanan Demak semakin kuat dan kuat. Beberapa catatan menyebutkan bahwa Raden Patah meninggalkan Majapahit sendirian untuk memimpin Prabu Udara. Catatan lain menunjukkan bahwa Prabu Udara telah menjadi sasaran Kesultanan Demak. Tapi apa yang terjadi selanjutnya, ketakutan kehilangan kekuasaan dari Prabu Air memuncak dan kemudian meminta bantuan dari Portugis di Malaka. Sejarah memberi tahu kita bahwa Prabu Udara atau Brawijaya VII mengirim utusan ke Alfonso d'Albuquerque dengan hadiah 20 lonceng, pakaian kain panjang Kambayat yang ditenun, 13 potong lembing, dll. Melihat sinyal yang tidak menguntungkan ini, pasukan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Duke Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor) menyerang Portugis di Malaka dan, pada saat yang sama, Majapahit di bawah kepemimpinan Prabu Udara untuk membubarkan perjanjian terlarang. yang telah terjadi [23]. Jika saja Majapahit tidak diserang selama periode Air Prabu, kita dapat memastikan bahwa Portugis menjajah tanah Jawa lebih awal daripada selama agresi Belanda.
Selain itu, Prof. Slamet Muljana menyatakan bahwa serangan Demak terhadap Prabu Girindrawardhana di Majapahit terjadi pada 1517 [24]. Ini lebih lanjut menunjukkan bahwa analisis yang digunakan oleh Muljana lemah. Karena masa pemerintahan Prabu Girindrawardhana hanya bertahan antara 1478 dan 1489 M [25] Tahun 1489 M adalah tahun pembunuhan Girindrawarhana oleh Pelatih Udara, yang kemudian menggantikannya sebagai raja. Majapahit dengan gelar Prabu Udara. Dengan demikian, serangan Demak terhadap Girindrawardhana di Majapahit, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet Muljana, dapat dianggap sebagai kesalahan analisis sederhana. Karena pada 1517 Girindrawardhana sudah lama mati.
Yang bahkan lebih masuk akal adalah bahwa serangan Demak terjadi pada masa pemerintahan Prabu Udara berkuasa antara 1489 dan 1518 [26]. Motifnya jelas merupakan upaya untuk membela kehormatan Islam dan untuk mengambil kembali takhta Majapahit, yang cukup di sebelah kanan Sultan Demak. Ini juga menegaskan bahwa dalam kronik Cina di kuil Sam Po Kong, Pa Bu Ta La bukan transkripsi nama Girindrawardhana, melainkan nama Prabu Udara atau Brawijaya VII. Oleh karena itu, analisis Samet Muljana sebagai penyebab runtuhnya Majapahit selama Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) belum terbukti. Jadi, jika cerita itu menulis bahwa penyebab keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Demak dan tanpa perincian lebih lanjut dari faktor-faktor yang mendasarinya, jelas penjelasan non-netral yang mencoba untuk menyembunyikan fakta mendesak. Dengan kata lain, jelas memiliki sejumlah alasan dan minat tertentu.
Awalnya, informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Demak hanya dapat ditemukan sebagai akibat dari kesalahpahaman. De Graf mencatat bahwa nama Girindrawardhana yang telah menyerang Majapahit dan merebut kekuasaan Prabu Brawijaya V, sering disalahpahami, identik dengan nama Sunan Giri, seorang anggota agama ulama Walisanga yang beragama Islam [27]. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Muhammad Yamin, seorang kepribadian Indonesia yang dikenal sebagai Majapahit-sentris. Muhammad Yamin mengatakan bahwa nama "Giri" dalam sejumlah kronik yang berkaitan dengan kejatuhan Majapahit adalah nama seorang murid Hindu, yang tidak lain adalah Girindrawardhana. Penulis kronik itu, dalam pernyataan Mohammad Yamin, umumnya bingung nama Girindrawardhana dan Sunan Giri. [28] Meskipun kedua nama tersebut karakter yang berbeda. Dari sana, kesalahpahaman berlanjut, yaitu bahwa Majapahit runtuh di bawah serangan Demak. Bahkan terkesan bahwa telah ada upaya untuk mempertahankan kesalahpahaman ini tanpa membuat koreksi terhadap pelajaran sejarah di Indonesia, terutama di tingkat menengah. Ini jelas indikasi kuat bahwa minat bermain untuk citra negatif Islam. Buku Darmagandul adalah salah satu ujung tombak minat ini.
[1] Panitia Seminar. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan, 1963). Hal. 265
[2] Herry Nurdi. Risalah Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9
[3] Prof. DR. Hamka. Sejarah Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal. 671-672
[4] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 77
[5] Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi ... Opcit. Hal. 48
[6] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 370
[7] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan VI. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 325
[8] Denys Lombard. Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II : Jaringan Asia. Cetakan III. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005). Hal. 34
[9] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 57
[10] Alwi Shihab. Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. (Penerbit Mizan, Jakarta, 1998). Hal. 22
[11] Es Danar Pangeran. Menggali Sejarah Madura Lewat Babad Soengenep (8) : Kudapanole Menaklukkan Blambangan. Tabloid POSMO Edisi 44 Tahun I/ 2000. Hal. 15
[12] Lihat misalnya tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara – negara Islam di Nusantara. Cetakan VI. PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2008). Hal. 139 -140
[13] Prof. Dr. Slamet Muljana. Ibid. Hal. 14 dan 19
[14] Terkait dengan perang Bubat lihat H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, I. P. Simandjoentak. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia. Jilid I : India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia. Cetakan II. (J. B. Wolters, Jakarta – Groningen, 1952). Hal. 367-368
[15] H. J. Van Den Berg, et. all. Dari Panggung....Ibid. Hal. 365-366
[16] Lihat artikel Dr. W. B. Sidjabat. Latar Belakang Sosial dan Kultural dari Geredja-geredja Kristen di Indonesia. Dalam Dr. W. B. Sidjabat (ed.). et. all. Panggilan Kita di Indonesia Dewasa ini. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1964). Hal. 20 - 21
[17] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364
[18] Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.
[19] Buku Darmagandul menggambarkan bahwa para ulama adalah seperti tikus yang merusak dari dalam. Mereka meminta jabatan kepada raja Majapahit dan pasca itu kemudian merusak kerajaan dari dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi ... Opcit. Hal. 46-47
[20] Umar Hasyim. Sunan Giri dan Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton. (Penerbit Menara, Kudus, 1979). Hal. 88 - 89
[21] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya ... Opcit. Hal. 107
[22] Sholichin Salam. Sekitar Walisanga. (Menara Kudus, Kudus, 1960). Hal. 13
[23] MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo. (Amanah, Surabaya, tth). Hal. 50. Tulisan lain mencatat bahwa alasan penyerangan Demak (dipimpin Adipati Yunus) ke Majapahit (masa Girindrawardhana) adalah sebagai serangan balasan terhadap Girindrawardhana yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, yaitu Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya V). Lihat Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. Cetakan V. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984). Hal. 451
[24] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya ... Opcit. Hal. 108
[25] Sholichin Salam. Sekitar … Opcit. Hal. 13
[26] Sholichin Salam. Sekitar ... Ibid. Hal. 13. Berita dari Duarte Barbarosa yang berasal dari tahun 1518, menyebutkan bahwa Jawa masih dikuasai kerajaan kafir yang dipimpin Patih Udra. Lihat Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. ... Hal. 449
[27] De Graf dalam kutipan Prof. Dr. Rasjidi. Faham Tentang Islam ...Opcit. Hal. 15
[28] Lihat Muhammad Yamin. Gajah Mada : Pahlawan Persatuan Nusantara. Cetakan IX. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1977). Hal. 89
Τhabk you a lⲟt for sharing this with
ReplyDeleteall flks you really realіze what you are talking about! Bookmarked.
Kindly also consult with my web site =). We could have a hypeгlink changve
contrɑct between us
hey there аnd thank you for your information – I have definitely ρicked
ReplyDeleteuρ something neѡ from riցht here. I didd however expertise sߋme technicaⅼ issues using tһis web sitе,
since I experіenced too reⅼoad tthe ѡebsіte a lot
of times previous to I cohld geet it to load correctly.
I had ƅeen wondering if your hostingg is OK? Not that I'm comρlaining,
but sluggish loading instances times will often affect
your placement in goоgle and could damage your high-qᥙality sсore if ads and marketing with Adwords.
Well I am adding this RᏚS to mү email annd can look out for a lot more of your respective fascinating cօntent.
Make sure youu update thiis again soon.