MACA SYEKH DALAM KONTEKS KEHIDUPAN MASYARAKAT BANTEN - Balaraja untuk kita semua

Breaking

Friday, May 29, 2020

MACA SYEKH DALAM KONTEKS KEHIDUPAN MASYARAKAT BANTEN

Bagi kamu yang tinggal di tempat Banten, pasti sudah tak asing bersama dengan tradisi Maca Syekh. Biar lebih menyadari tradisi berikut silakan ikuti tulisan berikut ini.

Jika kita menghadiri acara khitanan, kawinan, naik haji, membangun dan ruwatan rumah, mengakses warung / toko baru atau belanja kendaraan baru, masyarakat Banten biasanya kerap mangadakan acara wawacan syekh atau maca syekh. Berawal berasal dari rasa penasaran saya coba melacak menyadari mengenai tradisi ini.

Sebuah Laporan Akhir Penelitian yang ditunaikan Ruby Ach. Baedhawy kelanjutannya saya temukan, laporan penelitian yang berjudul Wawacan Seh (Manaqib Abd al-Qadir al-Jilani) Praktek dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial di Banten ini, ditulis pada th. 2007 bekerjasama bersama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta dan Lembaga Penelitian Institut Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanudin” Banten.

Masyarakat yang menyelenggarakan acara wawacan syekh atau maca syekh berkeyakinan bahwa bersama dengan dibacakan manaqib bakal beroleh keselamatan, keberkahan dan keinginannya tercapai. Ritual maca syekh yang mereka melakukan pada beraneka acara mempunyai tujuan menghendaki keselamatan dan tolak bala’.

Pengaruh tasawuf atau tarekat dalam masyarakat sampai kini masih benar-benar terasa. Salah satu tarekat yang sampai kini kondang di Banten adalah Qadiriyah wa Naqsybandiyah. Pengikut tarekat ini pun tersebar secara luas di masyarakat. Pembacaan manaqib Abd al-Qadir al-Jaelani masih mampu bersama dengan ringan ditemukan di hampir seluruh penjuru di Banten. Pembacaan manaqib ini dikenal bersama dengan wawacan syeh, yang berisi mengenai cerita-cerita penuh teladan dan tingkah laku ajaib sang wali.

Tradisi pembacaan manaqib ini di Banten sudah tersedia semenjak paruh pertama abad ke-17. Hal ini keluar pada abad itu sudah adanya adaptasi pembacaan manaqib berikut dalam versi Jawa yang mengfungsikan dialek Banten – Cirebon.

Tradisi Wawacan Syeikh di Gunung Kaler, Kecamatan Kresek Kabupaten Tangerang.

Pada acara-acara semacam khitanan/sunatan, kawinan, pergi haji, biasanya sebelum saat membaca Yasin dan surat-surat lain, merekla terutama dahulu membaca manaqib Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Mereka berkeyakinan bersama dengan dibacakan wawacan berikut acaranya menjadi lancar dan untuk mendapat keberkahan berasal dari karomah Syeikh Abdul Qadir. Beberapa orang yang kita wawancarai, baik sebagai pembaca, yang membawa hajat, atau pun tokoh agama mereka hampir berpendapat demikian. Berikut lebih dari satu orang yang mewakili ketiga responden yang kita ambil secara acak berasal dari lima kampung di tiga desa, yaitu Gunung Kaler, Ranca Gede, dan Cipaeh.




1. Maski bin Kunen



Maski bin Kunen ( 52 tahun) bertempat tinggal di kampung Cipaeh Tengah Desa Gunung Kaler, sepanjang ini masyarakat menganggapnya “tukang maca syeikh ”. Bapak berasal dari tiga orang anak bersama dengan dua cucu ini sehari-hari bekerja sebagai petani, sudah berpisah bersama dengan isterinya sepuluh th. yang selanjutnya dan sampai sekarang masih melajang. Ia termasuk sebagai pengurus Masjid yang bersebelahan bersama dengan rumahnya. Selain kerap dipanggil untuk maca syiekh, kadang waktu setiap selesai sholat Jum’at, ia termasuk diminta oleh lebih dari satu warga di sekitarnya untuk menjadi juru doa (muzawir) bagi orang yang beziarah ke kuburan yang terletak di belakang rumahnya.



Menurutnya, ia studi membaca wawacan syeikh sejak masih usia remaja sambil studi ngaji Qur’an bersama dengan teman-temanya. Biasanya mereka beramai-ramai membaca sambil saling memperbaiki. Setelah diakui mampu, mereka memperdengarkannya ke guru ngaji atau orang yang diakui mampu membacanya.



Menurutnya tidak tersedia syarat pertama kali orang untuk studi membaca manaqib. Ketertarikan pada wawacan syeikh pada awalnya dikarenakan tradisi para pemuda di kampung itu tak sekedar studi membaca al-Qur’an termasuk biasanya mereka studi termasuk “maca syeikh”. Bagi yang membawa bakat dan ketertarikan biasanya cepat mampu kemudian terkecuali tersedia acara-acara bersama dengan sukarela menyumbangkan bacaan itu. Sebenarnya, menurutnya, banyak yang mampu terkecuali hanya hanyalah saja. Ia kerap diminta untuk membaca manaqib pada acara-acara hajatan atau selametan, bila acara khitanan, nujuh bulan, ngruwat rumah, selamatan haji, atau tersedia tujuan tertentu, bila pada pemilihan kepala desa. Menurutnya, terkecuali dulu, setiap orang yang menginginkan keselamatan pasti menagadakan acara selamatan, yang di dalamnya pasti dibacakan wawacan syeikh, bila mau merantau keluar cari pekerjaan, beli kendaraan baru, tolak bala’ (paprahan).



Sebelum membaca, menurutnya tidak tersedia persiapan khusus, tidak kudu berwudhu tapi terkecuali berwudhu diakui lebih baik. Dalam membaca termasuk tidak ditentukan lamanya, tergantung permohonan yang punya hajat. Karena biasanya, yang membaca termasuk tidak sendirian, terdiri berasal dari lebih dari satu orang, tiga, lima, atau tujuh orang, tergantung permohonan yang mengundang.



Membaca wawacan syeikh tidak dipastikan bayarnya, hanya diberi sekedarnya yang biasa disebut uang salawat. Biasanya yang punya hajat untuk pelaksanaan wawacan syeikh, mereka mempersiapkan semacam sesajen yang terdiri atas, kopi pahit, kopi manis, kembang tujuh macam, kue tujuh macam atau perwanten, rokok lebih dari satu batang, kemenyan, kemudian bak kecil berisi air yang di dalamnya ditaruh lebih dari satu uang logam. Ini seluruh sebagai syarat, sehingga tidak berjalan masalah apa-apa dalam pelaksanaan pembacaan manaqib.



Pembacaan manaqib syeikh biasanya berkaitan bersama dengan pengamalan Tarekat Qadiriyah. Namun demikian,. Maski sendiri tidak pernah mempelajari dan ikuti tarekat ini. Dia hanya membaca hanya idamkan beroleh berkah dan sebagai keliru satu syarat pada acara-acara slametan atau hajatan. Maski mengaku bahwa ia hanya menyadari riwayat Syeikh Abdul Qodir berasal dari manaqib yang dibaca dan berasal dari keterangan para kiayi yang pernah berceramah menyebutkan kehebatan dan keagungan Syeikh Abdul Qadir.



2. Supyan



Supyan (57 tahun) tinggal di kampung Pasir Semut Desa Ranca Gede. Pekerjaannya sebagai seorang petani, bersama dengan lima orang anak yang seluruhnya sudah berkeluarga. Di kampungnya ia merupakan pembaca wawacan syiekh yang sudah kondang dan paling senior, bahkan kerap dipanggil ke lebih dari satu desa, bahkan pernah ke Cilegon, sampai ke Rangkasbitung. Ia menguasai hampir seluruh lagu yang tersedia di manaqib syeikh, bersama dengan pemberian suaranya yang memadai enak didengar. Karena itu, bila tersedia acara-acara hajatan atau slametan yang di dalamnya dibacakan manaqib syeikh, ia senantiasa diminta untuk menjadi pembacanya. Menurut pernyataan lebih dari satu warga di Ranca Gede; “rasanya kurang afdol terkecuali ia tidak membacanya”.



Ia menjadi studi maca syeikh sejak masih remaja berbarengan bersama dengan studi membaca al-Qur’an bersama dengan teman-temanya. Karena membaca maca syeikh sudah menjadi tradisi di kampungnya, maka biasanya yang memiliki bakat dan berminat pada awalnya studi sendiri, bersama dengan melihat dan mendengar bacaan syeikh di acara-acara slamatan atau hajatan. Sedangkan masalah jenis lagunya, ia studi pada guru SD-nya, yaitu lagu Sunda. Karena lagu-lagu wawacan syeikh, bila asmarandana, dangdanggula, kinanti, itu adalah lagu-lagu Sunda, kemudian dijadikan lagu dalam wawacan syeikh



Kemudian sesudah lancar dan menguasai lebih dari satu lagu dasar, baru menghadap seorang guru, untuk diminta menilainya apakah sudah layak belum tampil di acara-acara tertentu. Kalau sudah diakui layak, bermakna sekaligus merupakan pemberian kewenangan (ijazah) berasal dari seorang guru kepada muridnya. Menurutnya, bagi orang yang pertama kali belajar, membacanya tidak boleh berasal dari awal atau pembukaan, yaitu dimulai berasal dari pembacaan hadharat disambung bersama dengan pujian kepada Allah, tapi langsung ke hikayat pertama (hikayat ing kang karihin). Menurutnya terkecuali membacanya berasal dari awal maka si pembaca kudu mempersiapkan semacam sesajen layaknya layaknya pada acara-acara resmi.



Pak Supyan ini nampaknya lebih banyak menyadari seluk beluk berasal dari biasanya pembaca wawacan syeikh di lebih dari satu desa kurang lebih kecamatan Gunung Kaler. Ia termasuk menyebutkan bahwa dalam membaca manaqib syiekh tidak diperlukan persiapan khusus, berwudhu termasuk tidak menjadi syarat. Ketika seorang yang mengadakan wawacan syekh, maka menurut Supyan, di awalnya kudu sediakan semacam sesajen, layaknya kopi pahit dan manis, kueh tujuh rupa (perwanten), bunga tujuh rupa dan air dalam baskom, rokok dua batang dan kemenyan. Ia tunjukkan bahwa menyajian “sesajen” itu secara lengkap meruapak suatu keharusan untuk kelancaran acara. Ketidaklengkapan sesajen mampu menganggu acara yang bakal dilaksanakan. Menurutnya, disaat dia diundang di desa kampung tetangga, sesajennya tersedia yang kurang, begitu dibacakan wawacan syiekh, speaker (pengeras suara) jatuh berulang-ulang. Ia yakin hal itu berjalan dikarenakan kurang lengkap sesajen yang disediakan. Bahkan terkecuali kurang lengkap sesajen mampu membahayakan bagi yang mengadakan acara wawacan syiekh.



Dalam acara-acara semacam sunatan, kawinan atau apa saja yang berkaitan menghendaki keselamatan, dan keberkahan, biasanya yang punya hajat tidak memilih sampai selesai atau hanya lebih dari satu lembar saja berasal dari buku manaqib membawa halaman hampir capai 200. Kecuali dalam acara slametan (ruwatan) rumah, maka kudu sampai kayat kang kaping sanga (hikayat sembilan). Menariknya lagi, pada ruwatan rumah, tersedia acara menancapkan paku (mantek paku) di pintu rumah, pada bacaan “pantek paku kang tumanjeb ing saroja”. Maka paku ditancapkan di bagian kusen pintu. Tujuannya adalah untuk keselamatan tempat tinggal tersebut.



Pada pelaksanaan wawacan syiekh, tersedia acara jarah (ziarah), yaitu orang-orang yang ada berkumpul mengelilingi pembaca manaqib syiekh, kemudian orang yang berziarah itu meletakan uang di halaman buku manaqib yang sedang dibaca. Uang itu letaknya di mana saja, kemudian bila si uang tadi kebetulan diletak pada bagian cerita Syeikh Abdul Qadir sedang dicegat perampok, maka menurut Supyan, orang yang ziarah tadi diprediksi bahwa dalam menempuh hidupnya apa yang ia usahakan selalau direbut atau di idamkan orang lain sehingga kerap gagal. Kalau bila kebetulan uangnya di halaman manaqib yang bercerita mengenai sedang berangkat bersama dengan kafilah dagang, maka uang itu dijadikan semacam jimat untuk berdagang, sehingga beroleh keuntungan dan kesuksesan.



Karena tidak seluruh pembaca manaqib syiekh mampu menyadari bahasanya, maka acara ziarah ini hanya bagi yang menyadari saja. Bahasa yang dipakai dalam manaqib syeikh itu, menurut Supyan, adalah bhs Jawa Pekalongan. Jadi barangkali banyak orang yang membaca lancar dan mampu lebih dari satu lagunya tapi belum pasti mampu menyadari bahasanya. Pak Supyan studi menafsirkan bacaan itu bersama dengan studi berasal dari Kyai Mustaya berasal dari Binuang Serang, seorang ulama yang kondang bagi lebih dari satu masyarakat Binuang dan sekitarnya.



3. Rohani



Masyarakat yang menyelenggarakan acara wawacan syiekh berkeyakinan bahwa bersama dengan dibacakan manaqib bakal beroleh keselamatan, keberkahan dan keinginannya tercapai. Ritual maca syeikh yang mereka melakukan pada beraneka acara mempunyai tujuan menghendaki keselamatan dan tolak bala’. Acara-acara slametan yang kerap dibacakan manaqib adalah khitanan, kawinan, naik haji, membangun dan ruwatan rumah, mengakses warung atau toko baru, beli kendaraan, atau mempunyai tujuan sehingga terlaksana cita-cita dan tujuan, bila mau menjadi kepala desa.



Pada lebih dari satu bulan yang selanjutnya lebih dari satu desa di kecamatan Gunung Kaler menyelenggarakan pemilihan kepala Desa. Salah satunya desa Cipaeh, yang membawa calon empat orang. Dari pengamatan kita seluruhnya menyelenggarakan maca syiekh pada setiap malam Jum’at sampai hari pelaksanaan pemilihan. Salah seorang yang kita temui adalah Rohani (39 th) yang berpendidikann SMU. Ia merupakan kepala kuli (mandor) di Jakarta, yang merupakan calon kepala desa Cipaeh. Ketika ditanya tujuannya, ia menyebutkan bahwa membaca wawacan syekh adalah tradisi yang sudah melekat di kampungnya, tak sekedar itu ia menginginkan keselamatan dan tercapai tujuannya, yaitu menjadi kepala desa.



Dalam pelaksanaannya, wawacan syekh dibacakan oleh siapa saja yang berkunjung dan mau menyumbangkan bacaannya, dan mereka tidak dibayar. Rohani dan keluarganya hanya sediakan minuman dan makanan kecil secukupnya. Ketika ditanya mengenai Syiekh Abdul Qadir dan tarekat Qodiriyah, pada biasanya mereka tidak mengetahui. Yang mereka ketahui bahwa Syekh Abdul Qadir adalah seorang wali yang membawa kehebatan dan karomah yang kerap didengar berasal dari para kiayi dan ustadz di kampungnya.



4. H. Sanwani



Salah seorang warga masyarakata lain yang kita wawancarai adalah H. Sanwani (50 th), yang punya pekerjaan sehari-hari sebagai petani. Pada era jeda di sawah, ia menjadi kepala kuli (mandor) di Jakarta, dan membawa dua mobil angkutan umum. Ia membawa anak empat bersama dengan isterinya yang sekarang ini. Anak yang pertama sekarang sedang kuliah di Fakultas Kedokteran di keliru satu universitas swasta di Lampung memasuki th. ketiga, anak yang ke dua dan ketiga duduk di bangku SMA, kala yang kecil baru berumur lima tahun. Ia merupakan keliru satu masyarakat yang senantiasa mengadakan bacaan wacan syekh pada acara-acara yang diakui kudu menginginkan keselamatan, terhindar berasal dari malapetaka dan idamkan capai maksud tertentu.



Ia bercerita, disaat anaknya hendak masuk kuliah ke Fakultas Kedokteran pada th. 2005 sehingga berhasil dalam belajarnya, ia menyelenggarakan acara wawacan syiekh pada setiap malam Jum’at sampai sekarang yang sudah dua th. lebih. Bahkan, menurut pengakuannya bahwa disaat ia pergi haji lebih dari satu th. yang lalu, ia memerintahkan keluarganya untuk mengadakan pembacaan wawacan syiekh sepanjang tujuh puluh kali tiap malam Jum’at. Waktu ruwatan/selamatan rumahnya, ia menyelenggarakan acara wawacan syeikh sepanjang setahun pada setiap malam Jumat. Menurutnya, setiap apa saja yang menginginkan keselamatan dan keberkahan ia pasti menyelenggarakan acara maca syekh. Misalnya khitanan, bahkan disaat dia beli kendaraan roda dua atau motor, ia menyelenggarakan maca syeikh.



Menurutnya, maca syiekh sudah menjadi tradisi dan tradisi baginya:”kita mah pokone ngjaluk slamet dunia akherat, iku doang, dudu kanggo apa-apa”. Namun disaat ditanya siapa itu Syeikh Abdul Qadir Jailani, ia menjawab tidak tahu. Ia mobilisasi seluruh itu hanya nasehat yang dikemukakan para kyai. Ketika mempersiapkan acara wawacan syeikh, yaitu makanan tujuh warna (juwadah warna pitu), kopi pahit dan manis, air dalam baskom, dan kembang tujuh macam.



5. K.H. Hamzah



KH Hamzah ( 67 th) merupakan tokoh agama di Gunung kaler. Ia merupakan lulusan lebih dari satu pesantren tradisional di kurang lebih Kresek. Ia merupakan warga asli Gunung Kaler. Kini ia punya isteri dua orang bersama dengan 13 anak. Selain sebagai petani, sehari-hari ia kerap berceramah, dan isi beraneka pengajian diantaranya di Masjid Kecamatan Kresek sebagai kyai sepuh yang beri tambahan pengajaran kepada para ustad dan kyai muda. Ketika ditanya bagaimana pandangannya mengenai praktek wawacan syeikh. Ia menjawab bahwa itu adalah sebagai layanan atau wasilah untuk terkait bersama dengan Allah. Karena menurutnya, kita terkait atau mendekatakan diri kepadanya di antaranya kita disuruh melacak wasilah. Wasilah itu di antaranya bersama dengan perantaraan para wali. Karena para wali membawa kedudukan yang tinggi dan dekat bersama dengan Allah. Sementara orang awam tidak layaknya wali, dalam ibadahnya, sehingga untuk mendekatkan kepada Allah kudu dibantu lewat perantaraan orang yang dekat dengan-Nya, yaitu para wali. Ia mengibaratkan kehidupan di dunia ini, bila rakyat mau berjumpa bersama dengan pejabat tinggi, layaknya presiden, maka si orang berikut tidak mampu langsung menghadap prseiden. Ia kudu menjalani prosedur protokoler. Mulai ia membawa surat pengantar berasal dari desa, kecamatan, kabupaten, dan seterusnya memberikan kepada orang yang dekat bersama dengan presiden barulah ia diperbolehkan menghadap prseiden. Demikian pula manusia, layaknya kita orang yang banyak dosa, maka untuk menghadap-Nya kudu perantara.



Salah satu wali yang diakui membawa kedudukan yang tinggi dan mulia itu adalah Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, yang ajaran tarekatnya membawa efek besar di kalangan umat Islam di Banten. Menurut KH Hamzah, tersedia ucapan Syekh Abdul Qadir bahwa barang siapa yang menyebut atau memangil namanya disaat sedang ada masalah maka dihilangkan ada masalah tersebut: “man nadani fi karobatin kusyifat ‘anhu” atau perkatan yang lainnya: “wa man dhakarani fi hajatin qudhiyat lahu”



Perkatan berikut bermakna “barang siapa yang menyebut namaku disaat tersedia suatu kepentingan maka dipenuhi keperluan orang tersebut”. Menurutnya menyebut atau memangil namanya mampu ditunaikan bersama dengan langkah membaca manaqibnya.



Ketika ditanya bahwa dalam pelaksanaan tersedia lebih dari satu sesajen yang kudu disediakan, semacam kembang tujuh, air dalam baskom, lebih dari satu macam makanan kecil dan minuman, bahkan kemenyan, ia menjawab bahwa dalam pelaksanaannya sebenarnya bercampur bersama dengan kebiasaan istiadat setempat.



Masalah air dalam mangkok, menurut pak kyai ini, tersedia rujukan pada riwayat Syekh Abdul Qadir. Menurutnya tersedia keliru satu cerita, bahwa pada suatu era di zaman Syekh Abdul Qadir, berjalan wabah penyakit menular (tha’un) sehingga banyak orang yang terjangkit. Orang-orang kemudian minta pemberian kepada Syeikh. Akhirnya bersama dengan diberikan minuman berasal dari tempat wudhunya, orang-orang yang kena penyakit berikut sembuh. Dengan menyita pelajaran berasal dari moment tersebut, maka setiap membaca wawacan syeikh diletakan air dalam mangkok, tujuannya adalah untuk beroleh berkah berasal dari Syekh Abdul Qadir. Maka air itu diusapkan pada muka, diminum atau disiramkan pada suatu hal sehingga beroleh keberkahan dan keselamatan.



Pola Wawacan Syehk





Pada biasanya acara maca seh berjalan pada malam hari, walaupun tidak jarang ditunaikan pada pagi atau siang hari. Sebelum acara maca seh, tuan tempat tinggal kudu sediakan semacam “sesajen’. Karena itu H. Sanwani kudu sediakan semacam “sesajen” yang menjadi kriteria pembacaan manaqib itu mampu berjalan bersama dengan safe setiap kali ia bakal menyelenggarakan acara tersebut. Sesajen yang kudu ia sediakan adalah: kopi pahit, kopi manis, kembang tujuh macam, kue tujuh macam yang dikenal bersama dengan istilah perwanten, lebih dari satu batang rokok, kemenyan, bak kecil yang berisi air dan uang logam. Kewajiban tuan tempat tinggal untuk sediakan “sesajen” secara lengkap dibenarkan oleh Supyan (57 tahun), pelaku pembaca manaqib, yang kerap dimintai oleh warga untuk membaca manaqib seh di rumahnya. Menurutnya ketidaklengkapan sesajen yang dihidangkan pada kala maca seh bakal menyebabkan adanya masalah disaat acara sedang berlangsung. Supyan bercerita bahwa pada suatu kala tuan tempat tinggal tidak sediakan “sesajen” secara lengkap layaknya yang sepanjang ini sudah ditentukan, maka di sedang acara maca seh itu pengeras suara (speaker) jatuh berulang-ulang. Ia menyakini bahwa kejadian jatuhnya pengeras suara itu diakibatkan oleh kurang lengkapnya sesajian yang dihidangkan oleh tuan rumah. Karena itu, menurutnya, ketidaklengkapan sesajen bakal membawa bahaya bagi penyelenggara maca seh.



Selain sediakan “sesajen” sebagai syarat untuk maca seh, H. Sanwani termasuk kudu sediakan minuman layaknya kopi dan air teh, makanan, buah-buahan dan rokok bagi para undangan atau tamu yang ada pada acara tersebut. Para tamu undangan berikut pada biasanya adalah tetangga yang berdekatan bersama dengan rumahnya. Makanan dan minuman berikut dihidangkan di tengah-tengah para tamu yang ada yang duduk melingkar di dalam ruang. Sehingga tiap-tiap orang mampu menjangkau makanan dan minuman yang dihidangkan sepanjang acara maca seh berlangsung.



Pada setiap acara maca seh tersedia lebih dari satu langkah yang kudu ditunaikan sehingga acara itu berjalan bersama dengan tertib.1 Pertama, memberikan maksud dan tujuan acara. Kedua, bertawasul. Ketiga, pembacaan teks manaqib. Tahap-tahap berikut biasanya ditunaikan setiap kali penyelengaraan maca seh. Adapun rincian berasal dari tiap-tiap tahapan acara itu adalah sebagai berikut.



——————————————–



Mengungkapkan tujuan



Setelah para tamu yang diundang memenuhi ruangan yang disediakan, acara maca seh diakses bersama dengan sambutan singkat berasal dari tuan tempat tinggal atau yang mewakilinya dan biasanya masih tersedia pertalian kerabat bersama dengan penyelenggara. Pada sambutan yang singkat tersebut, sesudah mengucapkan salam, tuan tempat tinggal atau yang mewakilinya mengucapkan menerima kasih kepada para tamu atas kehadirannya pada acara yang sedang dilaksanakan. Setelah itu tuan tempat tinggal mengutarakan maksud dan tujuan berasal dari penyelengaraan acara maca seh berikut dan memohon pemberian serta do’a kepada tamu undangan demi kesuksesan aktivitas yang sedang atau bakal berlangsung. Sebelum mengakhiri sambutan singkatnya, tuan tempat tinggal memohon maaf kepada para hadirin, bila dijumpai tersedia kekurangan dalam perjamuan dan kekurangsopanan dalam penyambutan.



Acara inti berasal dari sambutan singkat berikut adalah menyebutkan maksud dan tujuan penyelenggaraan acara maca seh. Hal ini dimaksud untuk menghendaki pemberian moral dan emosional berasal dari para tamu dan warga kurang lebih pada rencana kerja yang ditunaikan oleh tuan rumah. Abudin (30 tahun), keliru seorang warga Pagelaran, Kabupaten Pandeglang, bakal melangsungkan slametan acara khitanan bagi anak laki-lakinya. Sebelum acara khitanan itu berlangsung, satu hari sebelumnya, ia menyelenggarakan acara maca seh. Pada peluang itu ia menyebutkan maksud dan tujuan acara yang diselengarakannya di depan para tamu undangan yang sudah hadir, bahwa ia bermaksud bakal mengadakan acara khitanan anaknya yang kini sudah berusia 5 tahun. Ucapan Abudin secara implisit menghendaki pemberian berasal dari kaum kerabat dan warga sekitarnya mengenai aktivitas yang bakal ia laksanakan, sehingga acara mampu berjalan bersama dengan lancar tanpa adanya gangguan.



Kata-kata standar yang kerap diucapkan tuan tempat tinggal atau yang mewakilinya adalah, “mudah-mudahan, semoga, moga-moga”. Kata-kata berikut seluruhnya menyiratkan suatu harapan bakal kesuksesan berasal dari bisnis atau pekerjaan yang bakal atau sedang dilaksanakan. Setelah itu, ia memohon kepada hadirin restu dan do’anya, sehingga bisnis atau pekerjaan yang bakal ia melakukan mampu berjalan bersama dengan lancar.



——————————————–


Wasilah dan Tawasul



Salah satu bagian perlu dalam acara maca seh adalah pembacaan wasilah (tawasul). Hal berikut merupakan bagian perlu dan senantiasa ditunaikan pada setiap bakal ditunaikan acara maca seh, sehingga kehendak, tujuan dan maksud orang yang menyelengarakan acara mendapat pemberian dan pemberian berasal dari para arwah-arwah orang terdahulu yang dipandang suci dan mulia. Para arwah berikut diyakini punya kemampuan untuk memengaruhi kehidupan manusia di dunia ini. Pada hakikatnya, para arwah tersebut, tidak punya otoritas penuh tapi berkat kesucian jiwa yang dimilikinya, maka ia punya kedekatan bersama dengan sumber otoritas mutlak, yaitu Allah SWT. Karena arwah-arwah orang berikut punya karomah (kemulian) yang disalurkan kepada manusia yang tersedia di bumi ini.



Wasilah secara etimologis bermakna perantara atau menyambungkan kepada suatu hal bersama dengan senang hati (al-tawwasul ila al-syai’ bi ragbatin) 2 Karena itu wasilah termasuk bermakna mendekatkan diri atau menginginkan sesuatu.3 Sedangkan secara terminologis, para ulama beri tambahan defenisi yang berbeda-beda. Perbedaan itu merupakan cerminan berasal dari perbedaan dalam orientasi dan pola keberagamaan.



Ulama yang berorientasi skripturalis mendefenisikan wasilah lebih bersifat etis, yaitu tingkah laku atau amal yang ditunaikan dan dipersembahkan oleh orang mukmin dikarenakan menginginkan suatu hal bersama dengan langkah menyebabkan perantara (media, sarana) sehingga ia beroleh apa yang diinginkan dan apa yang dicari. Dalam konteks ini, arti wasilah adalah beribadah mendekatkan diri kepada Allah bersama dengan mengerjakan amal saleh dikarenakan menginginkan mampu dekat dengan-Nya dan mengusahakan beroleh kemuliaan dan kedudukan di sisi-Nya, atau sehingga terpenuhinya keperluan bersama dengan beroleh pemberian atau terhindar berasal dari bahaya. Menurut kelompok ulama ini, kata wasilah yang terdapat pada surat al-Maidah:35 dan al-Isra:57, adalah bermakna demikianlah bukan yang lainnya. Dengan demikianlah maksud berasal dari arti wasilah yang terdapat dalam al-Qur’an itu adalah bersama dengan iman dan amal shaleh seperti: shalat, puasa, sedekah, membaca al-Qur’an, dan lain-lainnya yang dipandang tidak bertentangan bersama dengan ajaran Islam. Karena itu berwasilah (tawasul) bersama dengan menyebut orang-orang tertentu, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, diakui sudah menyimpang berasal dari ajaran Islam yang benar, dikarenakan itu hukumnya haram, dikarenakan dipandang bid’ah dan mencederai doktrin tauhid.



Sedangkan para ulama punya orientasi dan pola keberagamaan mistis, terutama berasal dari kalangan pakar sufi (tarekat), mendefenisikan wasilah tidak hanya terbatas kepada iman dan amal shaleh saja tapi termasuk bersifat perantara-perantara yang mampu beri tambahan syafa’at/pertolongan kepada seseorang atas izin Allah SWT. Perantara-perantara yang dimaksud adalah orang-orang yang dipandang membawa kedekatan bersama dengan Allah dikarenakan ketakwaannya, layaknya para Nabi, para Wali dan orang-orang yang shaleh. Mereka mendasarkan argumentasinya kepada lebih dari satu hadits nabi, seperti:



Artinya: berasal dari Anas bin Malik r.a bahwa Nabi Muhammad saw berkata (dalam suatu do’a): Ya, Allah ampunilah Fatimah binti Asad dan lapangkanlah tempat masuknya (ke kubur) bersama dengan hak nabiMu dan nabi-nabi sebelum saat aku. Sesungguhnya Engkau yang paling penyayang berasal dari sekalian penyayang. (H.R. Thabrani).



Berdasarkan hadits tersebut, menurut kelompok ini, bahwa tawasul bersama dengan orang-orang shaleh yang sudah meninggal dunia itu dibolehkan, layaknya yang sudah ditegaskan dalam hadits di atas.7



Dalam acara maca seh, membaca wasilah atau tawassul kepada para arwah orang tua, para ulama dan guru sufi terutama Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, para teman baik Nabi SAW, bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri yang menempati urutan pertama, merupakan suatu keharusan yang kudu dilakukan. Tawassul ini berguna sebagai perantara untuk menghendaki pemberian pemberian dirinya kepada Allah berasal dari segala mara bahaya.



Menurut ulama berasal dari kelompok ini, yaitu yang membolehkan tawassul atau wasilah, Allah itu ibarat seorang raja, terkecuali seorang rakyat jelata idamkan memberikan keinginannya maka ia kudu lewat orang-orang dekat dan kepercayannya, sehingga permintaannya mampu terkabulkan. Demikian pula bersama dengan Allah, menurut kelompok ini tidak seluruh orang, terutama orang-orang yang biasa yang banyak melakukan tingkah laku dosa, mampu berdo’a kepada Allah dan do’anya didengar atau dikabulkan. Supaya do’anya itu dikabulkan maka ia menghendaki pemberian orang-orang yang sepanjang ini diakui dekat bersama dengan Allah dikarenakan kesucian jiwanya, yaitu para Nabi dan Wali, untuk memberikan permohonannya berikut kepada Allah SWT. Hal itu, menurutnya, suatu hal yang wajar dan biasa. Apalagi mengenai permasalahan bathiniah, yaitu suatu hal yang benar-benar rumit dan musykil, maka menghendaki pemberian Allah bersama dengan lewat para hambanya yang saleh menjadi suatu hal yang diakui suatu keharusan.



Bertawasul bukanlah dimaksudkan kepada orang yang bersangkutan, tapi pada para arwahnya. Bertawasul biasanya adalah pemberian al-Fatihah kepada para arwah yang diyakini mampu menghubungkan yang perihal bersama dengan pemilik kekuasaan di alam ini, yaitu Allah Swt. Adapun urutan para arwah yang kerap diberi hadiah al-Fatihah dalam acara maca seh adalah sebagai berikut:



1. Nabi Muhammad Saw, anak-anaknya, para sahabatnya, isteri-isterinya dan para keturunannya.

2. Para Rasul dan Nabi-nabi Allah, para malaikat, para syuhada, orang-orang sholeh dan para sahabatnya yang senantiasa menemani mereka.

3. Para imam pendiri madzhab yang empat dan para pengikutnya, para ulama besar yang suci dan terbimbing di seluruh dunia.

4. Para pendiri dan guru-guru Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah serta para pengkikut seluruh tarekat, terutama kepada sultan para wali, sumbu dunia, Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, Syaikh Abu al-Qasim Junaid al-Baghdadi, Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, Syaikh Sirr al-Saqati, Syaikh Habib al-Ajami, Syaikh Hasan al-Basri, Syaikh Ja’far al-Sadiq, Syaikh Yusuf al-Hamdani, Syaikh Abu Yazid al-Bustami, Syaikh Bahauddin al-Naqshabandi, Imam al-Rabbani, Syaikh Abdullah Mubarrak bin Nur Muhammad, para keturunan dan kerabatnya dan orang-orang yang termasuk dalam silsilah tarekat mereka.

5. Para orang tua kita, guru-guru kita, kaum kerabat.

6. Orang-orang mu’min dan muslim di seluruh dunia, terutama kepada …….



Menurut pembicaraan lebih dari satu pembaca manaqib, layaknya Supian dan Misra, bahwa pembacaan wasilah tidaklah seketat yang dikemukan dalam tradisi tarekat. Pembacaan wasilah itu yang utama biasanya hanya dimaksudkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani. Bertawasul kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, layaknya dituturkan dalam manaqib, diyakini punya lebih dari satu keuntungan, yaitu bakal tercapai segala keinginannya. Hal ini layaknya ditegaskan dalam keliru satu episode manaqib.



Dicarioskeun ku guru-guru anu laluhung, saha-saha anu nyebut jenengan Sayyid Abdul Qadir henteu boga wudhu maka eta jalma ku gusti Allah dirupekken rizqina. Sareng saha-saha anu nadir hadiah ka Sayyid Abdul Qadir eta kudu dilakonan sehingga ulah kasebut jalma bedegong matak kawalat. Sareng saha-saha jalma anu ngahadiahkeun amis-amis dina malem Jum’at beranda maca fatehah dihadiahkeun ka Sayyid Abdul Qadir beranda kadaharanana dibagikeun ka fakir miskin sarta eta jalma nyuhunkeun syafaat sareng karamatana Sayyid Abdul Qadir dina ngahasilkeun maksudna tantu eta jalma meunang pirang-pirang pertulungan ti gusti Allah kalawan karomatana Sayyid Abdul Qadir. Sareng saha-saha anu maca fatihah rek dahar tuluy dihadiahkeun ka Sayyid Abdul Qadir tantu eta jalma dibukakaeun dikaluarkeun tina kasusahan dunya akherat. Saha-saha jalma anu nyebut jenengan Sayyid Abdul Qadir bari boga wudhu tur ikhlas anu sampurna ngagungkeun ka anjeuna maka eta jalma ku gusti Allah dibungahkeun dina eta poe serta dilabur dosana.



Tentang pentingnya pembacaan wasilah atau tawasul dalam acara maca seh tidak mampu dilepas berasal dari tradisi tarekat. Semua aliran tarekat mengenal wasilah, mediasi lewat seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagai suatu hal yang benar-benar diperlukan demi kemajuan spiritual. Untuk mampu sampai kepada perjumpaan bersama dengan Yang Mutlak, seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan tapi campur tangan aktif berasal dari pihak pembimbing spiritualnya dan para pendahulu sang pembimbing, termasuk yang paling penting, Nabi Muhamad SAW. Ini arti berasal dari wasilah, ia menunjukan rantai yang menghubungkan seseorang bersama dengan Nabi Muhamad SAW. dan lewat beliau sampai ke Allah. Dalam setiap orang atau lebih dari satu orang diberi hadiah pembacaan surah al-Fatihah. Banyaknya pembacaan surah al-Fatihah sesuai bersama dengan kebutuhan. Dalam Tarekat Rifa’iyah, pembacaan al-Fatihah ditunaikan sebanyak 17 kali sesuai bersama dengan kuantitas orang yang diakui paling patut untuk dibacakan al-Fatihah. Namun demikianlah tersedia versi lain yang hanya lima kali.



Dalam Tarekat Naqsabandiyah, pemahaman silsilah yang demikianlah sudah membawa tarekat ini pada pemanfaatan teknik yang disebut rabithah mursyid, yaitu “mengadakan pertalian bathin bersama dengan sang guru”, sebagai pendahuluan dzikir. Meskipun rabithah syaikh ini diamalkan banyak variasi di satu tempat dan di tempat lain, tapi mencakup penghadiran sang guru oleh murid.



Praktek penghadiran sang guru oleh murid ditunaikan bersama dengan langkah konsentrasi memikirkan sosok guru dan seluruh wali yang tersedia dalam silsilahnya. Kemudian masuklah sang guru dan para wali yang tersedia dalam silsilah berikut ke dalam hati sang murid, yang disaat itu menyebutkan “Allah, Allah”, menjadi berdzikir atas nama Allah tanpa ia sadari.



Biasanya, sang murid melakukan rabithah kepada guru yang sudah membai’atnya, tidak kepada syaikh yang lebih awal. Namun, tersedia lebih dari satu aliran tarekat, layaknya Khalidiyah, yang menuntut sehingga seluruh muridnya, bukan saja hanya muridnya sendiri tapi termasuk murid khalifahnya dan seterusnya, senantiasa melakukan rabithah hanya dengannya seorang.



Dalam melakukan amalan tradisi debus pun, wasilah merupakan suatu keharusan. Praktek wasilah yang ditunaikan dalam amalan debus pun sama juga sama bersama dengan yang ditunaikan pada tradisi tarekat. Pembacaan wasilah ini tak sekedar berguna untuk menunjukan silsilah keilmuan, termasuk merupakan upaya untuk menghendaki pemberian kepada para syaikh terdahulu untuk disampaikan maksudnya kepada Allah SWT.



Praktek debus pun mengenal rabithah syaikh. Dalam melakukan rabithah syaikh ini, seorang murid menghadirkan gurunya. Namun berbeda bersama dengan tradisi tarekat yang berguna untuk membimbing sang murid dalam melakukan dzikir kepada Allah untuk beroleh pencerahan atau suatu pengalaman spiritual. Dalam debus, rabithah syaikh dimaksudkan untuk menolong sang murid dalam melakukan suatu perbuatan-perbuatan yang luar biasa, sesuai bersama dengan niat sang murid, layaknya menghalau luka bacok dan sebagainya.



Dalam tradisi debus tak sekedar melakukan rabithah syaikh, termasuk dikenal melakukan sambatan (nyambat), yaitu menghendaki pemberian berasal dari makhluk yang lain, layaknya jin atau yang lainnya, sehingga mampu melakukan perbuatan-perbuatan layaknya macan, monyet atau makhluk lainya. Selain itu dikenal termasuk hadiran, yaitu menghadirkan sosok tertentu, terutama macan, untuk menolong dalam melakukan suatu hal sesuai bersama dengan niat sang pelaku.



——————————————–



Pembacaan Manaqib



Acara inti maca seh adalah pembacaan isi manaqib oleh ahlinya. Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani berisi mengenai cerita perjalanan hidupnya dan kejadian-kejadian luar biasa yang dialaminya. Hal-hal berikut dipandang sebagai sinyal atau lambang bahwa ia punya keistimewaan (karomah) yang berasal berasal dari Allah. Karena itu Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani dipandang sebagai puncak para wali Allah, sultan para wali, yang kedudukannya hanya satu tingkat di bawah Nabi Muhammad Saw.



Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ditemukan lebih dari satu versi mengenai kuantitas hikayat dalam manaqib berasal dari yang paling simpel yaitu hikayat sampai ke 53 hikayah. Setiap hikayah punya tema yang berbeda. Berikut ini adalah 53 episode yang dimuat dalam Tijan al-Jawahir fi Manaqib al-Sayyid Abd al-Qadir yang disalin oleh H. Muhamad Juwaeni bin Haji Abd al-Rahman berasal dari Parakan Salak, Cianjur. Manaqib berikut merupakan terjemahan berbahasa Sunda yang disadur berasal dari Tafrikh al-Khatir karangan al-Dhahabi dan Uqud al-La’ali.



Adapun tema manaqib pada setiap episodenya adalah:



1. Kisah mengenai nasab (asal usul dan keturunan) Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

2. Kisah mengenai kelahiran Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

3. Kisah mengenai era studi Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

4. Kisah mengenai budi pekerti Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

5. Kisah mengenai busana dan makanan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani disaat menjadi santri

6. Kisah pertemuan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani bersama dengan Nabi Hidir

7. Kisah mengenai peribadatan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

8. Kisah mengenai dasar-dasar tingkah laku Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

9. Kisah penampilan Sayid Abdul Qadir beri tambahan ceramah kepada manusia di atas kursi

10. Kisah mengenai perkumpulan seratus ulama Baghdad di tempat Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani yang mengupas mengenai beraneka masalah

11. Kisah mengenai telapak kaki Nabi Muhamad yang menginjak pundak Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

12. Kisah mengenai kesaksian guru-guru sufi dan para wali mengenai ketinggian martabat Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

13. Kisah mengenai tercelanya orang yang menyebut Sayid Abdul Qadir tanpa punya wudlu

14. Kisah mengenai orang-orang yang memberi hadiah (bertawasul) kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani bakal tercapai maksudnya

15. Kisah mengenai nama-nama agung Sayid Abdul Qadir

16. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani membangkitkan orang yang sudah meninggal berasal dari alam kubur

17. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani merebut nyawa pembantunya berasal dari malaikat maut

18. Kisah mengenai kemampuan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani dalam memengaruhi anak perempuan menjadi anak laki-laki

19. Kisah mengenai keselamatan (masuk surga) seorang fasik dikarenakan kecintaannya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

20. Kisah mengenai kematian seekor burung yang terbang melalui Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

21. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani membangkitkan seekor elang (alap-alap)

22. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani memerdekakan budak dan mengembalikan harta kekayaan

23. Kisah mengenai turunnya makanan berasal dari langit

24. Kisah mengenai sembuhnya orang-orang yang kena penyakit “thoun” berkat memakan rerumputan dan meminum air berasal dari madrasah milik Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

25. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani membangkitkan ayam

26. Kisah mengenai anjing yang menunggu Istal (kadang kuda) sesudah membunuh kucing

27. Kisah mengenai pembelian 40 kuda yang baik berdasarkan pernyataan kuda-kuda yang kurang sehat.

28. Kisah mengenai jin ifrit yang berada di bawah kekuasaan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

29. Kisah mengenai ampunan raja jin pada orang yang membunuh putranya

30. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani mengobati orang yang digoda jin

31. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani mencium tangan Nabi Muhamad Saw

32. Kisah mengenai kemampuan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani mendatangi murid-muridnya di 70 tempat pada satu waktu

33. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menyelamatkan isteri keliru seorang muridnya berasal dari tingkah laku tercela orang fasik

34. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menolong seorang yang bakal dilepas kewaliannya

35. Kisah mengenai Syaikh Ahmad Kanji menjadi Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani berdasarkan wejangan gurunya.

36. Kisah mengenai Syaikh Ahmad Kanji melacak kayu bakar yang terbang disaat kayu itu bakal di letakan di atas kepalanya.

37. Kisah mengenai keliru seorang isteri yang dianugerahi berkat doanya Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

38. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menyelamatkan muridnya berasal dari siksa Munkar Nakir

39. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani memberi ucapan selamat pada setiap th. baru dan mencerita apa yang bakal berjalan pada th. berikutnya

40. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani diberi lembaran buku untuk mencatat murid-muridnya yang berkunjung pada hari kiamat

41. Kisah mengenai seorang yang mengisapjarinya, kemudian giginya tanpa menjadi idamkan makan (merasa kenyang)

42. Kisah mengenai Syaikh Shon ‘Ani yang tidak taat kepada nasehat Sayid Abdul Qadir al-Jaelani

43. Kisah mengenai ikan sungai Dajlah (Tigris ?) yang mengusahakan mencium telapak tangannya

44. Kisah mengenai kemampuan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani memengaruhi wali mardud (ditolak) menjadi wali maqbul

45. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menyelamatkan muridnya berasal dari api (siksa) dunia akhirat

46. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menampakan dirinya dalam bentuk aki-aki (orang tua)

47. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani dicoba digoda setan

48. Kisah mengenai Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menampar setan

49. Kisah mengenai pemberian hadiah uang berasal dari seorang raja yang kemudian menjadi darah dikarenakan tidak diberikan secara langsung oleh raja

50. Kisah mengenai pemberian hadiah berasal dari raja secara langsung bersifat apel pada peluang yang lain

51. Kisah mengenai wasiat Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani kepada putranya.

52. Kisah mengenai sholat hajat disertai bersama dengan menghendaki pemberian Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani

53. Kisah mengenai meninggalnya Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani.



Para pakar maca seh mengakui bahwa pembacaan manaqib berikut tidak senantiasa sampai selesai, tapi sesuai bersama dengan permohonan tuan rumah. Pada acara menyongsong hajatan layaknya pernikahan atau khitanan yang ditunaikan sehari sebelum saat acara tersebut, pembacaan manaqib ditunaikan berasal dari petang sampai subuh bersama dengan merampungkan seluruh episode yang ada. Namun bila digabung acara slametan yang lain acara pembaca manaqib berjalan bersama dengan singkat.



Di Baros dan Gunung Kaler orang-orang yang kerap membaca manaqib (wawacan seh) dan kerap diminta warga untuk membacanya di depan publik bukanlah orang-orang yang mendapat kedudukan sosial terhormat. Supyan di masyarakat Gunung Kaler bukan pakar agama yang dihormati layaknya kiyai atau ustadz. Karena itu, pada umumnya, para pembaca manaqib bukan orang yang mendapat gelar kiyai atau ustadz. Meskipun demikianlah para pembaca manaqib adalah orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, sehingga pada biasanya adalah orang-orang yan mampu membaca huruf-huruf Arab.



Dengan demikian, otoritas atau kewibawaan itu bukan terletak pada pembacanya, tapi pada teks yang dibaca, pada manaqib itu sendiri. Hal itu sebenarnya bukan hal yang aneh dalam tradisi Islam. Otoritas tertinggi dalam kehidupan sosial adalah teks suci, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan para pembaca teks suci tidak mendapat kedudukan atau otoritas yang tinggi.



Berdasarkan hal mengapa pembacaan manaqib mendapat kedudukan terhormat dalam masyarakat? Mengapa pembacaanya dipandang mampu beri tambahan berkah kepada pembaca dan pendengarnya? Hal ini berkaitan bersama dengan kedudukan wali atau para guru sufi yang masyarakat muslim yang mendapat tempat terhormat.



——————————————–



Wali dan Karomah



H. Sanwani dan Dulmuti setuju bahwa kata-kata semata yang terdapat dalam manaqib tidak bakal memengaruhi dunia. Dalam pandangan H. Sanwani dan keluarganya manaqib itu punya “kekuatan” dikarenakan terkait dan merupakan bentuk komunikasi kepada ruh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang yang diyakini wali Allah yang benar-benar mulia, yang merupakan kekasih-Nya dan sudah pasti punya kedekatan dengan-Nya. Allah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, pencipta alam semesta serta pemilik kekuasaan dan kemampuan yang berjalan di dunia ini. Karena itu membaca manaqib merupakan keliru satu manifestasi bentuk kecintaan kepada wali tersebut.



Wali adalah pada biasanya dipakai untuk gelar bagi seorang sufi yang sudah capai tingkatan ma’rifat, yaitu ilmu mengenai rahasia-rahasia Allah. Para pakar (fuqaha) jarang mendapat gelar sebagai wali. Mereka pada biasanya dikenal sebagai mujtahid. Dengan demikian, istilah wali banyak dipakai dalam dunia tasawuf, untuk memberi gelar pada para sufi yang sudah capai puncak “pendakian” spiritual. Karena itu kewalian dicapai melaui perjalanan mistik.



Menurut beberaja ajaran tasawuf, derajat kewalian dicapai lewat tidak hanya lewat perjuangan (al-riyadhah) tapi termasuk merupakan anugerah berasal dari Allah. Karena itu tidak setiap sufi capai derajat kewalian. Bahkan tersedia ulama yang tunjukkan bahwa yang menyadari seseorang wali adalah wali itu sendiri dan Allah.



Pada biasanya masyarakat percaya bahwa seorang wali adalah orang suci, yaitu punya kesucian jiwa. Wali bermakna “seseorang yang berada di bawah pemberian khusus”, atau mampu termasuk bermakna “teman”. Kata Auliya’ Allah disebutkan dalam al-Qur’an lebih dari satu kali, yang paling mashur dalam surah 10: 63 “ Sesungguhnya, wali-wali Allah itu, tidak tersedia kecemasan pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Derajat kewalian diperoleh berkat ketekunannya beribadah kepada Allah, punya karakter zuhud (asketis) pada kehidupan dunia, imaginasi orang mengenai orang mulia adalah yang bersifat spiritual, ikhlas, punya mutu moral yang baik dan jiwa yang kuat. Karena itu dalam imajinasi masyarakat bahwa seorang wali punya kemampuan melakukan meditasi (tapa) dalam kala yang lama sekali. Tindakan meditasi itu diikuti bersama dengan berpuasa secara penuh di tempat-tempat terpencil atau sepi, yang jauh berasal dari hiruk pikuk kehidupan duniawi. Para wali besar, layaknya Sunan Kalijaga atau Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, diyakini mampu melakukan puasa sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.



Dalam dunia sufi berkembang pula hirarki kewalian (wilayat) yakni: wilayat ‘ammah, derajat kewalian biasa yang sudah dikenal oleh orang-orang beriman pada umumnya, dan wilayat khassa, ialah para sufi yang sudah capai derajat yang paling tinggi yaitu capai derajat ma’rifat sehingga layaknya diekspresikan dalam kitab-kitab tasawuf sehingga keberadaanya “ hilang dalam Tuhan dan hidup dalam Dia”. Sehingga para sufi yang sudah capai pengalaman rohani tertinggi itu diberi gelar qutb “poros, kutub” atau ghauth “pertolongan”. Gelar-gelar diberikan kepada Abdul Qadir al-Jaelani, sebagai lambang bakal keluhuran capaian rohaninya. Wali yang sudah capai gelar qutb atau ghauth berikut di kelilingi oleh wali-wali lain yang derajatnya lebih rendah layaknya nuqaba (pengganti), autad (tiang-tiang), abrar (yang saleh), abdal (pengganti-penganti) dan akhyar (yang baik).9



Pada umumnya, para wali mengakui keistimewaan para nabi. Akhir berasal dari kewalian hanyalah permulaan berasal dari kenabian. Setiap nabi pada dirinya sendiri membawa aspek kewalian, tapi jarang sekali kaum sufi yang mampu mengusahakan capai derajat kerohanian yang mendekati kenabian. Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani yang diyakini sudah capai gelar qutb atau ghauth masih berada derajatnya di bawah Nabi Muhammad Saw. Dalam keliru satu episode manaqibnya dicerita sebagai berikut;



“Dicaritakeun ku Syaikh Rosyid bin Muhammad al-Junaidi, dina weungina mi’roj kangjeng Nabi sumping malaikat Jibril yandak buroq. Ari talapukna eta buroq ngagebyur langkah bulan. Ari paku-pakuna langkah binatang. Barang diasongkeun ka jungjungan Nabi eta buroq henteu daekkeun cicing. Timbalan kangjeng Nabi “kunaon buroq numantaq maneh henteu daek cicing? naha maneh teh embung ditumpakan ku kaula? Tuluy eta buroq unjukan pokkna nyawa abdi menjadi tetbus taneh kafaran. Gusti abdi sanes henteu purun ditunggangan ku gusti. Mung abdi aya panuhun ka gusti, nyaeta dina dinteun kiyamah nali ka gusti bade lebet ka Surga ulah numpakan anu sanes. Dawuhan Rasulullah heug dikabul pamenta maneh. Unjukeun da eta buroq muga gusti kersa nyapengkeun panangan gusti kana pundak abdi supaos menjadi tawis dina dinten qiyamah. Teras panangen kangjeng Nabi dicepengkeun kana pundakna buroq. Ku margi eta buroq kalintang bingahna dugi ka jasadna eta buroq henteu cekap pikeun wadah rohna kapaksa eta buroq harita ngajangkungan dugi ka opatpuluh hasta. Tidinya kanjeng Rasulullah ngadeg sakedap wiroh ningali buroq sakitoh jangkungna tawakuf kana nitihan anu sanes tidinya beranda sumping rohna al-ghous al-‘adhom sayyid Abdul qadir al-Jaelani. Teras unjukan gusti “mangga ieu pundak abdi titih ku gusti”. Teras kanjeng Nabi nitih kana pundak ghous al-‘adhom beranda ghous al-‘adhom ngadek. Teras kanjeng Nabi nunggang sareng ngadawuh, “ kanjeng Nabi ieu dampal suku kaula ninjak kana pundak maneh, ari dampal suku maneh eta ninjak kana pundakna sakabeh wali Allah”



Untuk menunjukan betapa pentingnya kedudukan seorang wali sehingga ia mendapat gelar qutb atau ghauth adalah dikarenakan dipandang sebagai poros dunia. Dunia tidak bakal tersedia tanpa sebuah kutub atau poros. Dunia ini berputar sekelilingnya layaknya penggiling berputar-putar seputar porosnya, tanpa poros, dunia ini hampir tidak punya kegunaan. Demikian pula peran seorang wali yang besar dipandang sebagai poros kehidupan dunia yang menentukan. Qutb adalah pusat yang sesunguhnya berasal dari kekuatan rohani dan kesejahteraan (keselamatan) dunia ini tergantung kepada pusat itu.



Dalam kosmologi para pengikut tasawuf, yang kemudian menjadi ilmu masyarakat awam, diyakini bahwa Tuhan menyerahkan pengaturan alam semesta ini adalah kepada para wali. Sehingga alam mampu berjalan bersama dengan teratur ini berkat para wali. al-Hujwiri dalam Kasyful Mahjub menggambarkan peran wali dalam menyesuaikan dunia itu sebagai berikut:



Setiap malam autad (gelar bagi seorang sufi yang capai derajat tertentu) mengelilingi seluruh alam semesta dan bila tersedia suatu tempat yang terlewat berasal dari mata mereka, keesokan harinya bakal tampak ketidaksempurnaan di tempat itu dan mereka kudu memberitahukan hal ini kepada Qutb (seorang sufi yang sudah capai derajat kesempurnaan), sehingga sehingga ia perhatikan tempat yang tidak prima tadi dan bahwa bersama dengan rahmatnya ketidaksempurnaan tadi bakal hilang.



Karena itu diyakini bahwa berkat karomah para wali hujan turun berasal dari langit, tempat-tempat yang disentuh oleh kaki mereka yang suci tumbuh tanaman-tanaman dan dikarenakan pemberian mereka seseorang selamat berasal dari marabahaya yang mengancam mereka.



Masyarakat Gunung Kaler dan Baros, bahkan sudah menjadi ilmu lazim bagi kaum muslim, menyakini adanya karomah yang dimiliki para wali. Karomah dipandang sebagai ciri seseorang dipandang wali. Secara literal bermakna kemuliaan, yaitu kemulian yang diberikan Allah berkat kesucian jiwa dan keagungan rohani yang dimilikinya. Dalam konteks kewalian, karomah bermakna keajaiban-keajaiban yang dianugerahkan kepada seorang wali, layaknya halnya mu’jizat yang diberikan kepada para Rasul dan Nabi. Berbeda bersama dengan mu’zijat yang diberikan kepada Nabi, didapat sebagai anugerah Allah sebagai ciri kenabian tanpa kudu adanya suatu bisnis apapun, sedangkan karomah adalah anugerah Allah yang diberikan pada manusia biasa yang sudah mengusahakan mendekatkan dirinya kepada Allah bersama dengan langkah mensucikan jiwanya sehingga ia menyandang gelar wali. Sehingga kesucian jiwa itu yang diyakini mampu menerima kebesaran dan anugerah Allah. Allah beri tambahan kepada orang berikut kemuliaan (karomah) berasal dari manusia-manusia yang lainnya.



Salah satu ciri berasal dari karomah yang terdapat pada wali adalah kejadian-kejadian ajaib yang di luar hukum alam. Istilah lazim untuk suatu hal yang luar biasa itu adalah khariq al-‘adah, “yang keluar berasal dari kebiasaan kebiasaan”, yaitu adanya keyakinan bahwa bila Tuhan menghendaki, maka urutan dikarenakan akibat yang sudah menjadi hukum alam dan menjadi kebiasaan tradisi kita dalam memahaminya, bakal tidak berlaku. Tuhan, Yang Maha Kuasa, mampu memengaruhi arah kehidupan tanpa diperlukan adanya alasan yang mampu dipahami oleh akal manusia biasa.



Manaqib atau wawacan seh adalah keliru satu perumpamaan berasal dari cerita-cerita kejadian luar biasa yang diyakini berjalan pada seorang wali yaitu Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani. Kisah-kisah luar biasa yang berjalan pada manaqib tersebut, pada biasanya diyakini oleh masyarakat bahwa hal itu terjadi. Hal ini layaknya yang dikemukakan Supian “kejadian-kejadian layaknya itu dipandang bukan hal yang aneh bila berjalan pada seseorang yang dipandang wali, dikarenakan seorang wali dianugerahi oleh Allah bersama dengan karomah.



Berikut ini adalah keliru satu perumpamaan karomah yang dimiliki oleh Syaikh Abdul al-Qodir Jaelani mengenai kemampuannya memengaruhi tipe kelamin orang.



Dicaritakeun ku Syaikh Hawad al-Qodiri, aya hiji lalaki ngadehes ka Sayyid Abdul Qodir unjukan hayang gaduh anak lalaki. Dawuhan Sayyid Abdul Qodir “maneh minta barang anu golib, hek moal henteu boga”. Tidinya eta jalma saban dinten henteu patut-patut ada di majelis Sayyid Abdul Qadir. Barang parantos lami eta jalma kalawan kapastian tinumaha kawas gaduh anak tapi anakna awewe. Teras eta anakna dicandak ka Sayyid Abdul Qodir piunjukna gusti kapungkur abdi nyahokeun anak teh sanes nyuhunkeun awewe, nyuhunkeun anak lalaki. Dupi ieu kenging awewe. Dawuhan Sayyid Abdul Qodir “eta orok buntel jig balik tangtu engke menjadi lalaki”. Teras eta orok dibuntel dibawa balik. Barang diakses di imahna eta budak menjadi budak lalaki kalawan idzin Allah ta’ala.



Adanya keyakinan bahwa karomah yang dimiliki oleh seorang wali tidak hanya terbatas pada kala ia hidup, tapi termasuk sesudah meninggalnya. Para sufi dan masyarakat pada biasanya menyakini bahwa para wali Allah, layaknya halnya, Abdul Qadir Jaelani, walaupun sudah meninggal dunia secara lahiriyah, tapi sebenarnya mereka masih hidup. Mereka mendasarkan keyakinannya itu pada ayat al-Qur’an surat Ali Imran: 169-171.



Janganlah kamu mengira orang yang terbunuh di jalan Allah sudah mati. Tidak, mereka hidup di segi Tuhannya, mereka mendapat rezeki. Mereka senang bersama dengan karunia yang diberikan Allah, mereka bergembira bersama dengan yang belum menyusul mereka di belakang; mereka tidak kudu khawatir, tak kudu sedih. Mereka bergembira bersama dengan nikmat dan karunia berasal dari Allah dan Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang beriman.(Q.S. Ali Imron: 169-171)



Berdasarkan adanya keyakinan berikut bahwa aktivitas maca seh adalah keliru satu langkah mengagungkan wali Allah, layaknya Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani. Cara yang lainnya adalah bersama dengan memperingati kelahiran dan kematiannya. Pada setiap tanggal 12 Rabi al-Akhir diperingati sebagai meninggalnya Syaikh. Para pengikut tarekat mempergunakan peluang berikut untuk mengadakan haul yang dihadiri ribuan orang. Haul itu biasanya diisi bersama dengan acara pembacaan manaqib beliau. Acara yang memadai besar mengenai haul Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani biasanya ditunaikan di Caringin, Labuan, Pandeglang. Caringin sebenarnya dikenal sebagai pusat penyebaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Salah satu mursyid tarekat yang memadai dikenal di tempat ini adalah Ki Asnawi (w. 1937).



Karena karomah wali itu diyakini tidak terhenti walaupun ia sudah meninggal, maka kuburan wali berikut menjadi tempat yang dihormati dan dikunjungi banyak orang untuk melakukan ziarah kepadanya. Maka kuburan wali berikut dipandang sebagai tempat keramat (berasal berasal dari kata karomah), yaitu tempat yang sakral dan bernuansa magis. Karena itu kuburan para wali itu diyakini oleh lebih dari satu orang merupakan tempat yang sesuai untuk melakukan tapa berat dalam rangka beroleh kesaktian, misalnya.



Pandangan bahwa wali adalah “kekasih Allah” yang punya tempat istimewa, sehingga punya otoritas untuk menyesuaikan kehidupan alam semesta ini, termasuk kehidupan manusia di wajah bumi, sudah menjadi proses keyakinan masyarakat Banten semenjak dahulu. Para penguasa Banten memakai gelar keagamaan, Maulana (gelar yang biasa dipakai oleh seorang yang sudah capai derajat wali), didepan nama mereka. Pendiri dan penguasa pertama Banten, Sunan Gunung Djati, dikenal bersama dengan sebutan Maulana Makhdum. Begitu pula bersama dengan para penggantinya, layaknya Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf dan Maulana Muhammad. Gelar keagamaan berikut dipakai para penguasa Banten untuk melegitimasi dirinya sebagai orang yang sudah capai derajat kewalian. Karena itu ia bukan saja punya legitimasi kuat untuk mengurusi hal-hal duniawi tapi termasuk berkaitan bersama dengan soal-soal keagamaan.



Kepercayaan kepada karomah para wali, layaknya Syaikh Abdul Qodir Jaelani, sebenarnya adanya pergantian dalam orientasi kosmologi masyarakat Banten bersama dengan era pra-Islam dan ditandai bersama dengan memudarnya keyakinan kepada tokoh-tokok sakralnya. Kosmologi pra-Islam, yaitu pusat-pusat kosmis yang diyakini sebagai titik temu antara dunia fana bersama dengan supranatural, adalah tokoh atau tempat yang bersifat lokal, layaknya Pucuk Umun dan Gunung Karang. Orientasi kosmologi masyarakat Banten era Islam lebih bersifat international bersama dengan menjadikan tokoh-tokoh besar dunia tasawuf yang diakui di dunia muslim dan dijadikannya Mekkah sebagai pusat kosmis, yang dikunjungi sudah menyebabkan adanya penghancuran pada proses keyakinan dan kebudayaan pra Islam tak sekedar sebagai ibadah tapi untuk melacak ilmu (ngelmu) atau kesaktian dan legitimasi politik.14 Karena itu, para kesultanan Banten tak sekedar memakai gelar kewalian di depan namanya, mereka termasuk kerap mengusahakan untuk beroleh gelar “sultan” berasal dari para penguasa Mekkah.



Berdasarkan hal itu, tepat yang dikatakan oleh Mark R Woodward, walaupun dalam konteks kebudayaan Jawa,15 kesejarahan Islam di Banten tidak hanya hanyalah masalah konversi berasal dari animisme dan Hindu-Budha kepada Islam, tapi termasuk soal Islam sebagai legitimasi baru bagi kekuasaan/kerajaan. Sehingga proses pergantian tersebut, walaupun proses berikut tidak berjalan secara sempurna.



——————————————–


Keberkahan dan Keselamatan



H. Sanwani mengadakan acara maca seh di rumahnya pada setiap malam Jum’at bersama dengan harapan mendapat berkah. Ketika ditanya; “apa arti berkah? H. Sanwani tidak menjawab secara langsung tapi ia beri tambahan contoh; “apabila seseorang menanak nasi yang diperkirakan tidak memenuhi untuk memberi sejumlah orang, tapi disaat itu disuguhkan ternyata nasi itu memadai untuk seluruh yang hadir”. Rupanya para masyarakat Gunung Kaler dan Baros sendiri ada masalah dalam beri tambahan defenisi yang pasti mengenai arti berkah. Kata “berkah” layaknya halnya kata “karomah”, kerap keluar setiap kali berkata mengenai acara maca seh, slametan atau berziarah ke makam para wali. Bahkan tujuan yang idamkan diraih berasal dari kegiatan-kegitan berikut adalah untuk beroleh berkah, “ngala berkahna’. Karena itu kata berikut menjadi perlu dalam membentuk kesadaran masyarakat mengenai pola hidup yang kudu dijalani dan proses keagamaan yang mereka hayati.



Kata berkah yang dipergunakan oleh masyarakat pada biasanya menunjukan suatu kondisi psikologis dan sosial tertentu yang bersifat positif yang dirasakan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Karena itu, berkah mampu dimakna bersama dengan kecukupan, kesejahteraan, keselamatan atau ketenangan. Kata berkah termasuk menunjukan rasa ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa. Sebab yang mampu beri tambahan keberkahan (memberkati) hanya Allah. Sehingga keberkahan itu didapat seseorang sebagai lambang berasal dari limpahan kasih sayang Tuhan kepada manusia yang secara tulus beribadah kepadanya. Karena itu tidak seluruh bentuk peribadatan/pengabdian kudu mendapat berkah berasal dari Allah, misalnya, disebabkan tidak ditunaikan bersama dengan ikhlas.



Dalam al-Qur’an kata “baraka” (memberkati) dan beraneka macam derivasinya senantiasa dihubungkan bersama dengan Allah, sebagai pemilik kekuasaan. Ayat-ayat al-Qur’an yang tunjukkan bahwa “Allah memberkati” atau “Kami memberkati” lebih banyak dimaksudkan kepada suatu tempat layaknya Masjid al-Aqsa dalam surat al-Isra, ayat 1, dan perkampungan Saba dalam surat Saba, ayat 18. Lafad baraka pada ayat berikut bermakna bahwa Allah menyedikan “tempat yang memberi kesejahteraan, ketenangan, keamanan dan kenyamanan” bagi para penguninya. Dalam al-Qur’an, kata-kata “kami memberkati” (barokna) yang dimaksudkan kepada orang hanya ditunjukan kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ishak (al-Shofat: 113), yaitu orang yang mendapat kemulian dan kehormatan berasal dari Allah. Sebagai orang yang dimuliakan sudah pasti mereka mendapat kenyamanan, kesejahteran, keamanan dan ketenangan.



Bagi Supian dan Misra mendapat berkah terasakan dalam pengalaman bukan untuk dipikirkan. Pengalaman dalam tingkatan spesial adalah merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam jiwanya. Sehingga mereka mampu menjalani hidup ini bersama dengan penuh optimis dikarenakan menjadi terlindungi berasal dari segala marabahaya. Sedangkan pada tingkatan sosial adanya rasa di terima oleh masyarakat, tidak berjalan konflik sosial yang menyebabkan warga sengsara, tercukupi keperluan yang diinginkannya sehingga merasakan kenyamanan dan keamanan. Secara ringkasnya mereka menjadi terlindungi berasal dari segala marabahaya yang senantiasa mengancamnya baik dalam tingkatan spesial maupun secara sosial sehingga mereka tersedia dalam keselamatan. Jadi tujuan mendapat berkah adalah slamet.



H. Sanwani yakin bahwa berkah didapat bukan akibat berasal dari konsekwensi langsung berasal dari manusia tapi lebih sebagai lambang kasih sayang Tuhan kepada makhluknya yang taat kepadanya. Ketaatan berikut ditandai bersama dengan partisipasinya dalam kegiatan-kegiatan ritual yang mempunyai tujuan mengagungkan nama-Nya. Dengan demikian, keberkahan itu senantiasa berasal berasal dari Tuhan, kemudian turun dan tersebar kepada makhluknya, termasuk kepada manusia. Tuhan menjadi pusat kehidupan. Dari Tuhan itu kemudian keluar kehidupan-kehidupan lain.



Karena itu yang ideal dalam kehidupan manusia adalah terserap dalam irama kehidupan yang sudah ditentukan Tuhan, untuk merasakan kebahagian dan kenyamanan. Karena itu, barang siapa tidak ikuti irama Tuhan tersebut, ia berada di luar irama kehidupan yang penuh berkah. Itu bermakna tersedia dalam kehidupan penuh bahaya, tersesat, jatuh dalam kesengsaraan, atau tidak berada dalam jalan “keselamatan”.



Bagi masyarakat Gunung Kaler dan Baros, para wali adalah “kekasih Allah” yang sudah diberi lebih dari satu kemulian (karomah) sebagai lambang kewaliannya. Salah satu faedah para wali adalah menjadi “perantara” untuk melakukan komunikasi antara Tuhan, Yang Maha Segalanya, bersama dengan manusia yang serba kelemahan (dho’if). Keberkahan Tuhan tidak serta merta mampu dicapai oleh manusia biasa dikarenakan jarak yang begitu besar antara dirinya bersama dengan Tuhan, sehingga diperlukan dalam hal ini yang menjadi jembatan penghubung antar keduanya. Peran inilah yang dimainkan wali. Artinya, Wali punya peran perlu dalam memilih seseorang mendapat berkah sehingga ia mampu slamet. Salah satu episode cerita dalam manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani menyebutkan mengenai hal itu.



Ka carioskeun di zaman Sayyid Abdul Qodir, aya hiji jalma fasik, tapi eta jalma kajida mahabahna ka Sayyyid Abdul Qodir. Sanggeus eta jalma maot dikubur disual ku malaikat mungkar wa nakir henteu aya deui jawabna eta jalma ngan Abdul Qodir. Tidinya sumping timbalan ti Gusti Allah, “hei munkar wa nakir eta jalma bener fasik siksaeun tapi kulantaran manehna mahabah ka kasih aing ayeuna dihampura ku aing”



Artinya: diceritakan pada zaman Sayyid Abdul Qodir, tersedia keliru seorang manusia fasiq, tapi orang itu benar-benar mencintai kepada Sayyid Abdul Qodir. Setelah orang itu wafat dikubur dan ditenya oleh malaikat Mungkar dan Nakir tidak tersedia jawaban kembali hanya Abdul Qodir. Dari itu berkunjung jawaban berasal dari Gusti Allah, “wahai Mungkar dan Nakir orang itu sungguh-sungguh fasiq dan kudu disiksa, tapi dikarenakan ia benar-benar mencintai kepada kekasihKU sekarang dimaafkan olehKU”.



Cerita berikut kerap dijadikan rujukan para kiyai mengenai “kedudukan ulama” dalam kehidupan individu atau masyarakat. Pada keliru satu khutbah Jum’at di Kecamatan Cimanuk, Pandeglang, khotib beri tambahan ilustrasi mengenai pentingnya ulama bersama dengan menceritakan kisah Syaikh Abdul Qodir tersebut. Kata fasik dalam cerita berikut dimaknai sebagai orang yang kurang taat mobilisasi ritual ibadah, layaknya sholat dan puasa Ramadhan. Sehingga, menurutnya, disaat orang berikut ditanya Malaikat Munkar wa Nakir tidak mampu beri tambahan jawaban yang benar. Seperti ditanya, siapa Tuhanmu?, Siapa nabimu? Apa kitabmu? Semua pertanyaan ia jawab bersama dengan satu kata, “Syaikh Abdul Qodir. Namun berkat kecintaannya pada ulama, layaknya dikisahkan dalam cerita Abdul Qodir al-Jaelani tersebut, kekurangan berikut dimaafkan oleh Allah, sehingga ia mampu masuk surga.



Penghormatan pada ulama, dalam hal ini mursyid, menjadi hal utama dalam tradisi sufi. Seorang murid tidak bakal mengalami kemajuan spiritual, tanpa dibarengi oleh ketaatan pada perintah mursyid. Sehingga sang mursyid menjadi ridho untuk membimbingnya ke jalan spiritual. Posisi seorang murid pada gurunya layaknya dijelaskan dalam lebih dari satu buku mengenai tasawuf adalah “bagaikan mayit di tangan yang memandikannya”. Penjelasan pentingnya mengenai ketundukan pada guru berikut layaknya dijelaskan oleh Al-Ghazali:



“seorang murid tidak mampu tidak kudu membawa seorang penunjuk yang bakal membimbingnya di jalan benar. Karena jalan iman adalah samar, sedangkan jalan setan adalah banyak dan mudah, dan orang yang tidak membawa syaikh yang membimbingnya, bakal dibawa iblis kepada jalannya. Karena itu seorang murid kudu bersandar pada syaikhnya layaknya seorang buta di tepi sungai bersandar pada penunjuk jalannya, mempercayakan diri seluruhnya kepadanya, tidak menentangnya dalam masalah apa pun juga, dan mewajibkan diri untuk mengikutinya secara mutlak. Hendaklah dia menyadari bahwa keuntungan yang diperolehnya berasal dari kesalahan syaikhnya, bila ia keliru, adalah lebih besar berasal dari pada keuntungan yang diperolehnya berasal dari kebenaran yang ditemukan sendiri, terkecuali ia benar.”.



Pengagungan dan penghormatan masyarakat Gunung Kaler dan Baros pada Syaikh Abdul Qodir merupakan tiruan berasal dari tasawuf. Ketika tasawuf menjadi gerakan era (budaya populer) lewat tarekat, maka berjalan lebih dari satu pendangkalan arti tasawuf. Tasawuf yang pada awalnya merupakan bisnis untuk mensucikan jiwa bersama dengan tujuan mendekatkan diri sedekat barangkali bersama dengan Allah, lewat bimbingan para guru-guru sufi, berubah menjadi assosiasi atau perserikatan, yang dikenal bersama dengan tarekat. Sebagai perserikatan, tak sekedar diperlukan adanya pengurus termasuk diperlukan suatu doktrin/ajaran yang mengikat para bagian atau jama’ah sebagai identitas kelompok. Karena tarekat pada hakekatnya dibangun berdasarkan atas kesetian pada suatu ajaran/pendapat yang dikemukakan oleh seorang sufi, maka tidak terhindarkan proses indoktrinasi dan pengagungan guru-guru sufi itu. Hal ini kemudian yang tersebar secara luas dalam masyarakat dan menjadi pola kebergamaan mereka dalam menghayati keislaman.



Pada masyarakat tradisional, penghargaan pada moment era selanjutnya dan para tokohnya sebenarnya benar-benar perlu sebagai pembentuk identitas mereka. Masa selanjutnya dipandang sebagai zaman ideal yang kudu menjadi tuntunan bagi orang-orang yang hidup pada era kini dalam menjalani kehidupannya. Karena itu, penghormatan pada tokoh-tokoh besar era lalu, layaknya para syaikh menjadi begitu tinggi. Karena penghormatan kepada kuburan para wali melibihi penghormatan tokoh-tokoh yang era hidup. Semua itu mempunyai tujuan untuk beroleh berkahnya.



Konsep berkah sebenarnya sama bersama dengan rencana karomah. Kalau karomah adalah keajaiban-keajaiban yang berjalan pada para wali atau guru-guru besar para sufi sedangkan berkah adalah keajaiban-keajaiban yang berjalan pada masyarakat biasa. Karena itu kejadian-kejadian yang secara nalar biasa (common sense) tidak biasa terjadi, layaknya masalah “menanak nasi sedikit tapi memenuhi orang banyak” sebagaimana yang dikemukan oleh H. Sanwani di atas, dikarenakan beroleh berkah. Bagi masyarakat tradisional hidup ini sebenarnya penuh bersama dengan keajaiban, dikarenakan itu tidak memadai bersama dengan hanya mempergunakan nalar biasa, tapi termasuk diperlukan nalar lain yang mampu menyadari fenomena-fenomena alam yang kadang waktu tidak mampu dipahami oleh masyarakat biasa.

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete