Aria Wangsakara bersama dua saudaranya yakni Aria Jaya Santika dan Aria Yuda Negara,merupakan keturunan dari kerajaan Sumedang. Perjalanan mereka ke Tangerang disebabkan oleh ketidaksepahaman dengan pihak kerajaan sumedang.
Dalam perjalanan panjangnya, Ia memutuskan untuk singgah di pinggiran Sungai Cisadane. Dengan berbekal restu dari Kesultanan Banten, akhirnya ia memutuskan untuk menyebarkan Agama Islam serta menetap di daerah Gerendeng, tepatnya di tepi barat Sungai Cisadane. Dan mendapat mandat dari Kesultanan Banten untuk menjaga wilayah tersebut dari kompeni.
Meski telah berhasil mendapatkan banyak murid dan pengikut, Usaha yang dilakukannya tersebut tak semata-mata dapat berjalan dengan baik. Dan dari pengaruh Aria yang kala itu begitu besar sempat menyita perhatian para kompeni VOC. Para kompeni menganggap bahwa keberadaan pesantren disana menjadi sebuah ancaman besar dan mengkhawatirkan mereka dikemudian hari.
Berbekal amunisi dan persenjataan yang lengkap akhirnya VOC melakukan penyerangan terhadap wilayah Gerendeng, serangan dilakukan dengan brutal. Teror senapan hingga tembakan meriam terus dilancarkan bertubi-tubi. Hingga akhirnya dengan terpaksa Aria Wangsakara mengungsikan pengikutnya ke Lengkong, Pagedangan. Ia mendirikan pusat pengajaran Agama islam baru disana. Sekalipun itu adalah ancaman yang berbahaya, Aria akan tetap terus berjuang dan tak patah semangat dalam menyebarkan agama islam.
Berbekal pengalaman ketika kompeni VOC menyerbu di Gerendeng, Aria dan para pejuang yang lain memasang strategi untuk membangun sebuah benteng pertahanan di Lengkong Kyai, tepat di tepi Sungai Cisadane sebelah barat sampai bendungan Sangego (Sekarang disebut pintu sepuluh).
Dan ternyata gelagat ini tercium oleh VOC yang akhirnya mendirikan benteng pertahanan tandingan tepat bersebrangan dengan wilayah kekuasaan Aria Wangsakara saat itu. Serbuan akhirnya dilakukan oleh VOC terus menerus. Peristiwa tersebutlah yang menyebabkan kota tangerang menjadi terkenal dengan sebutan sebagai "Kota Benteng".
Dibawah kepemimpinan Aria Wangsakara , rakyat digerakkan untuk melakukan perlawanan pada pihak VOC. Hingga pertempuran berangsur-angsur panjang selama 7 bulan. Rakyat Tangerang saat itu tak ingin takluk untuk kedua kalinya oleh VOC. Berbekal semangat perjuangan yang terus berkobar, akhirnya rakyat Tangerang berhasil memenangkan pertempuran tersebut sekaligus mempertahankan wilayah Tangerang dari serbuan VOC yang beringas—walaupun telah menumpahkan banyak darah dan nyawa yang hilang.
Pertempuran tak hanya berakhir disitu. Ternyata kompeni terus berupaya melakukan penguasaan dan melancarkan penyerangan kembali ke daerah Tangerang. Siasat kompeni ternyata lebih cerdik dengan cara mengadu domba Kesultanan Banten—terkait batas wilayah kekuasaan.
Namun, lagi-lagi perlawanan tetap dilakukan oleh Aria Wangsakara dan kedua saudaranya. Berbekal semangat perjuangan melawan penindasan yang dilakukan kompeni, mereka bertempur mati-matian—demi mempertahankan martabat rakyat Tangerang. Hingga akhirnya ketiga tumenggung itu gugur dalam pertempuran. Aria Santika yang tewas dalam pertempuran di Kebon Besar 1717, Aria Yuda Negara gugur di Cikokol pada tahun 1718 dan Aria Wangsakara gugur di Ciledug pada tahun 1720. Mereka bertiga tewas demi mempertahankan wilayah Tangerang dari kekuasaan kompeni VOC. Walaupun mereka tewas, setidaknya mereka gugur secara terhormat karena sudah memperjuangkan tanah Tangerang serta melawan kebatilan.
Silsilah Dan Keturunan Aria Wangsakara
Pangeran Arya Wangsakara atau dikenal juga dengan nama Kiayi Wangsaraja atau dikenal Raden Lenyep adalah cucu dari Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang dari putra Prabu Geusan Ulun yang bernama Pangeran Arya Wiraraja.
Pangeran Arya Wangsakara sebelum menjadi penguasa Tangerang pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa, sebelumnya beliau adalah tangan kanan Sultan Abul Mafakhir di Kesultanan Banten.
Berbagai masalah kesultanan selalu dibicarakan terlebih dahulu dengan Wangsakara. Bahkan wangsakaralah yang dijadikan pemimpin duta Banten ke Makkah untuk menjemput piagam pengangkatan sultan Banten dari khalifah utsmaniyah Turki. Dalam rombongan, ikutserta pula putra mahkota Pangeran Abul Ma’ali Ahmad.
Dan Pangeran Wangsakara dinikahkan dengan cucu sultan Abul Mafakhir yang bernama Ratu Zakiyah binti Ratu Salamah. Dari pernikahan ini mempunyai anak Ratu Ratnasih. Ratu Ratnasih atau Raden Wiratnasih atau Raden Ratna Sukaesih ini.
Selain dengan cucu Sultan Abul Mafakhir, Aria Wangsakara juga mempunyai dua isteri lainnya yaitu Nyaimas Nurmala putri Adipati Karawang mempunyai anak Raden Yudanagara dan Raden Raksanagara. Isteri yang lain adalah putri dari Tubagus Idham yang bernama Ratu Maimunah mempunyai anak Raden Wiranegara atau disebut Syekh Ciliwulung kresek.
Raden Ratna Sukaesih mempunyai anak Raden Tapa Dilaga atau Kiayi Tapa. Kiayi Tapa bersama Tubagus Buang memimpin gerilya melawan kompeni Belanda. Pemberontakan Kyai Tapa berawal dari rakyat Banten yang dikhianati oleh Ratu Syarifah yang bersekutu dengan VOC. Ratu Syarifah adalah istri dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin (1733-1750).
Gubernur Banten Wahidin Halim adalah salah satu keturunan dari Aria Wangsakara. Wahidin Halim mempunyai ibu bernama Raden Hajjah Rohanah binti Raden H. Gozali bin Raden Hj. Syari’ah binti Raden Kujang Dilaga bin Raden Muhdor dilaga bin Kiayi Tapa bin Raden Ratnasih bin Arya Wangsakara.