Abuya Ardhani, Pendiri Pesantren Pertama di Tangerang - Balaraja untuk kita semua

Breaking

Monday, August 24, 2020

Abuya Ardhani, Pendiri Pesantren Pertama di Tangerang


Pondok Pesantren Al-Falahiyah Merupakan Pesantren tertua di wilayah Kabupaten Tangerang. Dengan usia pesantren saat ini kurang lebih 106 tahun.

Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1915 di di Kampung Batu, Desa Pangarengan Kabupaten Tangerang oleh KH. Ardhani (Abuya Ardhani) .  Dan pada tahun 1937 pindah ke Kampung Panggang, Desa Selapajang, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang.

Biografi Sang Abuya

Abuya Ardhani lahir pada tahun 1894  di Kampung Gunung Kecamatan Rajeg Kabupaten Tangerang. Abuya Ardhani adalah anak tunggal dari pasangan suami-istri yang bernama Ki Idan dan Nyi Tiyeum.  Ki Idan, berasal dari Mengger, Cikaromoy Pandeglang . Sedangkan ibunya yang bernama Nyi Tiyeum, berasal dari Trumbu, Banten.

Abuya Ardhani memiliki tubuh tegap dan badan tinggi. Selain itu, ia memiliki kulit yang berwarna sawo matang, memiliki hidung yang mancung seperti keturunan Arab dan memiliki tatapan mata yang tajam.

Masa kecil Abuya Ardhani tidaklah seindah anak-anak lain seusianya. Ayahanda beliau Ki Idan pergi meninggalkanya berkelana ke setiap daerah dalam rangka penyebaran agama islam. Ki Idan adalah seorang pengusaha tembakau, beliau pergi atau berkelana ke setiap kampung (dusun) untuk menyebarkan agama Islam. Hasil dari usaha
tembakaunya digunakan sebagai biaya perjalanan.

Tujuannya yaitu untuk mengilmiahkan seorang Muslim yang masih bodoh dijadikan Muslim yang bertauhid kepada Allah, seorang Muslim yang ditanami dengan kalimat toyyibah yaitu kalimat “La illa hailla Allah Muhammad ar-rosulullah” supaya orang tersebut bisa membentukkan jiwanya dengan kalimat toyyibah agar mereka menjadi
manusia yang tegap dalam kebaikan, jujur dalam per-etikaan, penuh toleransi dan mampu beradaptasi atas sesama Muslim di masyarakatnya.

Abuya Ardhani sendiri tumbuh besar di Kampung Rajeg, hal itu dikarenakan Ardani kecil dan ibunya, Nyi Tiyeum, diajak oleh Ki Daim (Adik dari Nyi Tiyeum) untuk berhijrah ke Desa Rajeg.

Pada usia dua tahun, Abuya Ardhani kehilangan ibundanya tercinta. Kemudian Abuya Ardhani pun diangkat atau di asuh oleh Ki Daim, di bawah asuhannya, Abuya Ardhani tumbuh berkembang dengan baik. Abuya Ardhani sendiri merupakan seorang yang haus akan ilmu, hal itu terlihat dengan jumlah guru yang ia datangi untuk menimba ilmu.

Pada usia  ±15 tahun, dimulailah tahap baru bagi kehidupannya. Di mana, beliau memulai hubungan pernikahan dengan seorang wanita shalihah yang mempunyai nama Zainab. Pernikahannya ini dikarunia tujuh orang anak yang terdiri dari enam anak laki-laki dan satu anak perempuan.

Pada usia Abuya Ardhani yang ke-20 tahun, Abuya Ardhani merasa terketuk hatinya untuk berdakwah dengan lebih serius. Sebelum itu, Abuya Ardhani memang sudah berdakwah dengan cara mengisi pengajian dari satu kampung ke kampung lainnya. Namun, kali ini Abuya Ardhani tertarik untuk mendirikan sebuah pondok pesantren yang mengajarkan ilmu agama Islam dari dasar kepada para generasi muda saat itu.

Pondok pesantren tersebut bernama “Al-Falahiyah” yang kelak akan menjadi salah satu pondok pesantren tertua di Kabupaten Tangerang.

Menginjak usia ke ±40 tahun, Abuya Ardhani menikah dengan seorang wanita shalihah lainnya yang mempunyai nama Umamah yang berasal dari Kampung Panggang, Desa Selapajang, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang – Banten.
Hal itu dikarenakan Hj. Zainab, istri dari Abuya Ardhani telah berpulang ke rahmatullah. Pada pernikahannya yang kedua ini, Abuya Ardhani dikaruniai tujuh orang anak.

Pada bulan Mei tahun 1957 dengan usia 63 tahun, Abuya Ardhani telah berpulang dan menghadap sang pencipta yakni Allah SWT.

Abuya Ardhani pernah mewakili ulama se-Banten untuk menghadiri Muktamar Nadhatul Ulama di Solo pada tahun
1935 dan beliau memenangkan argumen dengan ulama-ulama lainnya.

Diantara hasil keputusan muktamar ini adalah pernyataan menyokong berdirinya “Madrasah Mamba‟ul Ulum” yang didirikan oleh Keraton Kasunanan Surakarta, sebagai salah satu usaha untuk mencetak kader ulama

Perjalanan Keilmuan Sang Abuya

Abuya Ardhani merupakan seorang yang haus akan ilmu, maka tidak heran bahwa Abuya Ardhani memiliki banyak guru yang telah beliau temui, di antaranya adalah:

Ki Ardani (Tegal Kunir)
Kyai Salmin (Kampung Gunung)
Ki Musa (Rumpaksina)
Seorang ulama di Kampung Bakom,
KH. Ahmad Syathibi
KH. Tubagus Ahmad Bakri/Mama Bakri
Ki Nawawi (Mandaya) dan
Abuya Shiddiq (Baros).

Pada usia tujuh tahun, Abuya Ardhani memulai pencarian ilmu dengan belajar kepada seorang ulama yang bernama Ki
Ardani (Tegal Kunir). Abuya Ardhani ditemani oleh Ki Daim untuk bertemu dengan Ki Ardani (Tega Kunir). Dimulailah
proses pembelajaran tersebut, dengan semangat Ki Ardani (Tegal Kunir) mendidik dan memberikan pengajaran
mengenai ilmu keagamaan kepada Abuya Ardhani.

Dengan ketekunan dan penuh kesabaran selama lima tahun lamanya. Akhirnya, Abuya Ardhani berhasil dalam fase pertama dalam meraih ilmu Pan-Nahwu (bagian Ilmu Nahwu), di mana Abuya Ardhani belajar Kitab „Amil, Kitab Jurumiyah dan Ilmu Tasrif, yakni Saraf Kailani.

Setelah lima tahun Abuya Ardhani berguru dengan Ki Ardani (Tegal Kunir), Abuya Ardhani pun kembali pulang kepada Ki Daim. Kemudian, Ki Daim menyerahkan Abuya Ardhani kepada Kyai Salmin. Dengan Kyai Salmin, Abuya
Ardani belajar mengenai Ilmu Fiqih, tidak lama, Kyai Salmin menyuruh Abuya Ardhani untuk belajar dengan seorang ulama yang berasal dari Rumpaksina, yakni Ki Musa (Rumpaksina).

Atas perintah dari Kyai Salmin, Abuya Ardhani pun pergi ke daerah Rumpaksina untuk menemui Ki Musa. Setelah
bertemu dengan Ki Musa, Ki Musa pun menerima kedatangan dari Abuya Ardhani dengan sangat baik dan memberikan kasih sayang yang berlimpah kepada Abuya Ardhani. Hal itu dikarenakan, Ki Musa (Rumpaksina) telah mengetahui bahwa kelak Abuya Ardhani akan menjadi seorang ulama besar.

Di tempat Ki Musa (Rumpaksina), Abuya Ardhani mempelajari Ilmu Ngelal (yakni untuk mengetahui asal kalimat), Ilmu Asal (yakni untuk mengetahui dari perlengkapan kalimat), Ilmu Alfiyah (yakni untuk menggali asal-usul kalimat dan mengetahui i‟robul kalimat), dan menggali Ilmu Fiqih.

Setelah dirasa Abuya Ardhani telah menguasai ilmu tersebut, Ki Musa (Rumpaksina) memberikan restu kepada Abuya Ardhani untuk meninggalkan pesantrennya dan pergi menimba ilmu di guru yang lain. Abuya Ardhani pun pergi menuju Kampung Bakom, di sana Abuya Ardhani mempelajari Ilmu Alat seperti Ilmu Mantiq, Ilmu Sullam Al-Taufiq, Ilmu Jauharmaknun, Ilmu Badi11, Ilmu Bayan, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Studi Banding Hadits, Ilmu Falak, ilmu Gerhana Bulan dan Matahari, mempelajari Ilmu Jam Al-Jawami, mempelajari Ilmu Tifan dari sanad-sanad ulama dan ucapan yang akan dijadikan sandaran hukum dinamakan Ilmu Hadist.

Setelah beberapa tahun Abuya Ardhani belajar dengan ulama di Kampung Bakom, Abuya Ardhani pun pergi menuju seorang ulama terkenal yakni Mama Ajengan Syathibi.

Mama Ajengan Syathibi merupakan seorang ulama yang berada di daerah Cianjur Selatan. Dengan khidmah dan penuh ketawaduan, Abuya Ardhani menyerahkan dirinya untuk menimba ilmu kepada Mama Ajengan Syathibi.

Hal itu dikarenakan beliau masih merasa terdapat kekosongan dalam hatinya. Pada proses mencari ilmu ini, Abuya Ardhani mendapatkan sebuah kehormatan dengan diberikan kepadanya sebuah gelar oleh Mama Ajengan Syathibi.

Gelar yang diberikan ialah Asadul Rubbat yang artinya sebagai harimau dari siswa-siswa pelajar. Mama Ajengan Syathibi memberikan gelar kepada Abuya Ardhani dikarenakan Abuya Ardhani selalu mengikuti dan mentauladani dalam dialek kata-kata gurunya dan mengutamakan kekhidmahannya serta bermacam-macam ilmu yang telah Abuya Ardhani kuasai.

Setelah Mama Ajengan Syathibi ikhlas dan penuh kegembiraan, Mama Ajengan Syathibi menyematkan sorbannya sambil mengucapkan do.a dengan cucuran air mata dan diberikan petunjuk kepadanya untuk mendatangi seorang ulama yang luar biasa yaitu Mama Bakri Sempur. Dalam obrolannya, dua orang tersebut membuka tabir dari keaslian orang Banten.

Hal itu dikarenakan Abuya Ardhani dan Mama Bakri Sempur merupakan orang Banten. Maka pergilah KH.Ardani untuk menunaikan perintah dari Mama Ajengan Syathibi, yaitu menuntut ilmu kepada KH. Tubagus Ahmad Bakri/Mama Bakri Sempur.

Tidak lama beliau menuntut ilmu, hanya beberapa bulan saja, Abuya Ardhani dipersilahkan pulang dan Mama Bakri Sempur sangat merestui Abuya Ardhani untuk mendirikan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat yang masih awam.

Abuya Ardhani pun pulang ke kampung halamannya dan bertemu kembali dengan Ki Daim, namun pertemuan itu tidaklah lama. Abuya Ardhani pun langsung pergi kembali untuk menuntut ilmu. Meski Abuya Ardhani sudah diizinkan untuk mendirikan syariat Islam atau pesantren, namun Abuya Ardhani masih merasa belum siap.

Abuya Ardhani masih merasa kekosongan dan haus akan ilmu pengetahuan. Maka pergilah
Abuya Ardhani menemui seorang ulama Banten lainnya, yakni Ki Nawawi (Mandaya). Dengan Ki Nawawi (Mandaya) beliau mempelajari Ilmu Tarekat (suatu jalan untuk mengenal diri kepada Allah SWT.yakni ilmu makrifat).

Setelah mempelajari ilmu ini, Abuya Ardhani merasa bahwa selama ini dia benar-benar kekurangan. Akhirnya Abuya Ardhani mempelajari ilmu pengenalan diri kepada Allah, ilmu rahasia yang akan dibukakan hakekat kewujudan makna manusia dan ilmu untuk dibukakan pilar-pilar kegaiban.

Setelah itu, Abuya Ardhani pun dipersilahkan untuk pulang. Namun, tidak  seketika pulang, melainkan Abuya Ardhani mendatangi seorang ulama besar bernama Abuya Siddiq (Cangkudu, Baros).

Setelah Abuya Ardhani menetap di pesantren Abuya Siddiq, dipanggillah Abuya Ardhani oleh Abuya Siddiq, dan Abuya Siddiq berkata “Hei, Ardani, engkau pulanglah ke kampung halamanmu”.

Akhrinya, di banjiri dengan do‟a, diwarnai dengan keikhlasan, dikendarai degan ridho, maka Abuya Ardhani pulang ke kampung halamanya, ke tempat Ibu Tiyeum yakni di Kampung Sasak. Tak lama setelah itu, Ki Daim, seorang paman, ayah, orangtua dari Abuya Ardhani turut serta meninggalkannya dan menghadap sang pencipta.

Setelah itu Abuya Ardhani menikah dengan wanita shalihah bernama Zainab dan tak lama mendirikan sebuah pondok pesantren dengan nama “Al-Falahiyah”.

Wallahu a'lam bis-shawab.

Silahkan Baca Juga, Kisah Ulama-ulama banten berikut:

Abah Uci Cilongok-ulama-kharismatik tangerang
Abuya Dimyati-Cidahu ulama-penuh-karomah
Abuya Bustomi Ulama-kharismatik-banten
Syekh Astari kresek sang-penuntut-ilmu
KH.ASNAWI CARINGIN ( ULAMA DAN PENDEKAR BANTEN )
Abuya Armin Cibuntu, Dikagumi Soekarno-Hatta

Sumber: Dari berbagai sumber