Masyarakat priangan timur khususnya kalangan akademisi pesantren pasti tidak asing dengan nama KH Choer Affandi. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Pesantren Miftahul Huda termasuk pesantren yang besar, ribuan alumninya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Banyak santri alumninya yang mendirikan pesantren cabang Miftahul Huda di daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan cita-cita Uwa Ajengan, yaitu mendirikan seribuan pesantren di Indonesia.
KH. Choer Affandi bernama kecil Onong Husen, lahir pada hari Senin tanggal 12 September 1923 M di kampung Palumbungan Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kewedanan Cijulang Ciamis, dari Pasangan Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba’I yang masih mempunyai keturunan Raja Mataram dan Siti Aminah binti Marhalan yang mempunyai keturunan dari Wali Godog Garut. KH. Choer Affandi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, beliau mempunyai kakak yang bernama Husein (Darajat) dan seorang adik perempuan yang bernama Husnah (Emih).
Menurut KH. Abdul Fatah (Aa), dalam darah Onong Husen mengalir darah bangsawanan dan darah ulama yang dominan dalam membentuk kepribadian KH. Choer Affandi. Hal ini, terbukti dengan sikap Uwa yang sangat tertarik pada ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.
Pada waktu itu ayah KH. Choer Affandi adalah pegawai Belanda. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi neneknya yang bernama Haesusi terhadap KH. Choer Affandi, sehingga setelah Onong Husen menamatkan pendidikan umumnya di HIS, maka pada tahun 1936 M neneknya membujuk Onong untuk mengaji di Pesantren KH. Abdul Hamid.
Uwa Ajengan Khoer Affandi mendalami ilmu agama di beberapa pesantren di Jawa. Beliau belajar Ilmu Tauhid dari Pesantren Cipancar, Cigugur, Ciamis dan dari KH Abdul Hamid, Pangkalan Langkap Lancar Ciamis. Beliau belajar ilmu alat di beberapa pesantren di Singaparna. Ruhul Jihad dari KH Zaenal Musthofa, Singaparna. Ilmu Tafsir dan Asmaul Husna dari KH Ahmad Sanusi, Gunung Puyuh Sukabumi. Ilmu suluk/ falak dari KH Tuan Manshur, Jakarta Jarat. Ilmu Waris dari KH Mahfudz, Babakan Tipar Sukabumi. Ilmu Qur’an dan Tajwid belajar dari ulama daerah Cigeureung, Tasikmalaya.
KH Choer Affandi sudah merintis pesantren kala usianya masih 19 tahun. Pesantren Wanasuka, demikian namanya, berdiri pada 1942 di Cigugur, Ciamis. Akan tetapi, belakangan Pondok Pesantren Miftahul Huda menjadi lebih dikenal melekat pada nama sang kiai. Sebab, dia mengasuh lembaga yang berdiri pada 7 Agustus 1967 itu sampai akhir hayatnya.
Kisah pendirian Pondok Pesantren Miftahul Huda dimulai dengan kedatangan sang kiai dengan putranya, Abdul Fattah, ke Cisitu Kidul, Manonjaya, Tasikmalaya. Awalnya, niat bapak dan anak ini adalah untuk menghadiri undangan tiga orang alumni Pesantren Wanasuka. Namun, KH Choer Affandi lantas mendapati bahwa kawasan setempat sesuai untuk dibangun sebuah pusat dakwah dan pendidikan.
Atas dukungan masyarakat, akhirnya lokasi pesantren di pindah ke Manonjaya. Di sinilah Pondok Pesantren Miftahul Huda dibangun di atas tanah waqaf seorang aghniya Manonjaya. Secara harfiah, Miftahul Huda berarti “kunci petunjuk”, menggambarkan agar pondok pesantren ini dapat mencetak orang-orang sholeh (Ulamaul ‘Amilin, Imamal Muttaqin dan Muttaqin).
Di sanalah KH Choer Affandi mendirikan Pesantren Miftahul Huda. Peresmian pesantren ini dilakukan bupati Tasikmalaya saat itu dan disaksikan panglima kodam Siliwangi. Para santri yang sudah bermukim di Gombongsari pun pindah ke Miftahul Huda.
Kini, luas pesantren tersebut sudah mencapai delapan hektar dan akan terus bertambah. Jumlah santrinya lebih dari dua ribu orang. Nama pesantren ini berarti ‘kunci petunjuk.’ KH Choer Affandi bervisi bahwa Pesantren Miftahul Huda menghasilkan banyak dai yang saleh, teladan dan berperan besar dalam memimpin masyarakat Muslim di manapun berada. Salah satu lulusan pesantren ini yang cukup tersohor adalah KH Abdullah Gymnastiar atau akrab disapa Aa Gym.
KH Khoer Affandiy wafat pada tanggal 26 November 1994. Sepeninggal KH Khoer Affandi, Pesantren Miftahul Huda dikelola oleh para putra, mantu dan cucu-cucu beliau.
Perjuangan Uwa Ajengan dalam Mengemban Da’wah
Uwa Ajengan memasuki masyarakat biasa dan selalu tidak luput daripada mencari murobby. Yang dimaksud dengan mencari murobby adalah betapa sulitnya menjadi hamba Alloh yang sebenarnya. Inilah salah satu bentuk kerendahan hati Uwa yang patut jadi perhatian kita bersama.
KH. Abdul Fatah (Aa) merupakan anak sulung dari Uwa. Setelah Aa dewasa, Aa diangkat jadi ajudan terakhir dan sekretaris pribadi KH. Choer Affandi, hingga hembusan nafas terakhir Uwa di RSHS Bandung.
Ketika itu yang menyaksikan langsung adalah Aa dan Umi Hj. Sofiyah. Aa bertindak sebagai pendamping Uwa dhohir dan batin. Pendamping batin maksudnya supaya Uwa utuh menghadap Alloh sebagai al-alim, al-almah dan al-waro’.
PROMO KAOS POLOS 3PCS 50K BISA UNISEX |
Inilah benar-benar Uwa istri sebagai mujahidah, mujahidah yang merupakan ciri dari muhibbin sesuai dalam arti kelembagaan. Mulyana Uwa istri seperti mujahid kaljasa dilwahid dengan Uwa yang tidak ada kecanggungan, sama-sama dalam jalur minalloh, ‘alalloh, ilalloh, fillah.
Talkin Aa ka Uwa : “Maaf beribu maaf ka Alloh, hakekat ka Alloh” bari dicepeng taarna.
“Apa yakinkeun kupangersa moal muntah tina title apa ti Alloh sebagai mujahid, muhajjir, muhibbin, kalayan engke ngahisina apa tos janten urang akherat, ayeuna mah ngawujud aqli anu sangat dirahasiakan oleh Alloh (kecuali yang telah diberi tahu, yang se-thoriqoh).”
Saur apa (Uwa) : “Apa alim menghadap Alloh di ieu tempat (RSHS) tapi mau di Miftahul Huda”. Uwa selalu mengatakan : “Hayu urang balik, embung di dieu, hayang di pasantren”.
Dan ketika apa (Uwa) menghembuskan nafas terakhir, Aa mengucapkan Alhamdulillah, karena beliau pergi menghadap Alloh dengan tersenyum, yaitu pada hari Jum’at pukul 21.30.
sumber: republika, buku “Uwa Ajengan“, KH. Abdul Fattah, Galuh Nurani 2013
👍
ReplyDelete