KH Bisri Musthofa,Kyai Yang Bisa Menipu Setan - Balaraja untuk kita semua

Breaking

Tuesday, November 3, 2020

KH Bisri Musthofa,Kyai Yang Bisa Menipu Setan

Bisri Musthofa dan KH. Musthofa Bisri, dua nama yang mungkin sedikit membingungkan, karena hanya dibolak-balik saja susunan katanya. Yang pertama adalah nama sang ayah, sedangkan yang kedua adalah nama sang anak yang juga biasa dikenal dengan panggilan “Gus Mus”. Bapak anak ini sama-sama jago menulis dan telah melahirkan banyak karya.

KH Bisri Musthofa lahir di Rembang, pada tahun 1914. Beliau putra pasangan KH. Zainal Musthafa dan Siti Khadijah, terlahir dengan nama Mashadi yang kemudian diganti dengan sebutan Bisri. Pada tahun 1923, KH. Zainal Musthofa menunaikan ibadah haji bersama istinya, Nyai Siti Khadijah, dengan membawa anak-anak mereka yang masih kecil. Setelah menunaikan ibadah haji, di pelabuhan Jeddah, Kiai Zainal jatuh sakit hingga wafat. Kiai Zainal dimakamkan di Jeddah, sedangkan istri dan putra-putranya kembali ke Indonesia.



Ketika sampai di Indonesia, Bisri bersama adik-adiknya yang masih belia, diasuh oleh kakak tirinya, KH. Zuhdi (ayah Prof. Drs. Masfu' Zuhdi), serta dibantu oleh Mukhtar (suami Hj. Maskanah). Bisri kecil menempuh pendidikan di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar untuk Bumi Putera), hingga selesai. Bisri kecil mengaji di pesantren Kasingan, Rembang di bawah bimbingan Kiai Kholil. Bisri juga mengaji kepada Syaikh Ma'shum Lasem, yang menjadi ulama besar di kawasan pesisir utara Jawa. Kiai Ma'shum merupakan sahabat Kiai Hasyim Asy'arie, juga terlibat dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bisri muda juga tabarrukan kepada Kiai Dimyati Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dengan demikian, sanad keilmuan Kiai Bisri jelas tersambung dengan ulama-ulama di Jawa, yang menjadi jaringan ulama Nusantara. Kiai Bisri suntuk mengaji kepada Kiai Kholil Haroen, Kiai Ma'shum Lasem dan beberapa ulama lain.

Kiai Bisri Musthofa adalah kiai yang sangat produktif menulis. Lebih dari seratus judul buku telah berhasil ditulisnya dan dipelajari di banyak pesantren. Hal ini cukup bisa dipahami karena sebagian besar buku-buku karya Kiai Bisri Musthofa ditulis dengan aksara “pegon”. Tulisan berlafal bahasa Jawa namun menggunakan aksara Arab.

Salah satu karya terkemuka Kiai Bisri adalah kitab Tafsir Al-Ibriz, tafsir Al-Quran dalam bahasa Jawa yang sering dipelajari tidak hanya oleh para santri di pesantren-pesantren, tapi juga kalangan awam di pengajian kampung-kampung.



Kiai Bisri dikenal sebagai sosok yang selalu mampu menyederhanakan hal-hal rumit menjadi sederhana. Membuat setiap penjelasan Kiai Bisri mudah diterima semua kalangan. Di setiap ceramahnya, Kiai Bisri juga selalu menggunakan cara-cara sederhana. Hal yang juga terlihat dari tulisan-tulisannya, termasuk kitab Tafsir Al-Ibriz.

Karena produktivitasnya yang luar biasa, dalam Tawa Pesantren (2016: 56-58) Kiai Bisri pernah ditanya oleh K.H. Ali Maksum, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.

“Sampeyan ini kok bisa nulis banyak banget begitu, memang rahasianya apa toh, Kang?” tanya Kiai Ali. “Aku ini kok enggak bisa seperti sampeyan. Saat punya ide nulis yang banyak, tapi waktu pegang pena rasanya kok mendadak ide-ide yang banyak itu jadi hilang entah kemana.”

Kiai Bisri cuma tersenyum mendengarnya, lalu sedikit mendekat.

“Lha, sampeyan nulisnya lillahi ta’ala, ikhlas, bener-bener cuma buat Allah, jadinya ya susah. Enggak bakalan bisa selesai kalau begitu,” kata Kiai Bisri.

“Lho, maksudnya gimana itu?” kata Kiai Ali.

“Begini Kang Ali,” kata Kiai Bisri sambil membenarkan duduknya. “Kalau kita nulis dengan perasaan ikhlas, akhirnya setan-setan akan menganggu kita. Ya, jadinya kita enggak selesai-selesai menulis. Lha gimana? Diganggu setan.”

Kiai Ali memerhatikan dengan seksama.

“Nah, biar bisa selesai nulisnya, kita jangan ikhlas nulisnya. Diniatkan aja untuk cari uang, cari ketenaran, cari pengakuan. Jika kayak begitu, kita jadi seperti penjahit. Penjahit enggak bakal berpindah jahit kain lain sebelum kain yang sekarang selesai dijahit. Jadi sebelum selesai nulisnya, kita enggak akan berpindah ke mana-mana sebelum tulisannya selesai,” kata Kiai Bisri.

“Begitu tulisannya selesai, baru kita niatkan untuk dakwah, menyebarkan ilmu, mengajar ke masyarakat, dan lain-lain,” jelas Kiai Bisri.

“Oalah, begitu caranya,” kata Kiai Ali.

“Kalau sejak awal sudah ikhlas nulisnya, diniatkan untuk dakwah, menyebarkan ilmu, memberi manfaat ke masyarakat banyak, waduh, minta ampun Kang Ali, pasti buanyak banget setan yang akan datang mengganggu. Apalagi ini Kiai Ali Maksum, sudah tentu semakin semangat setan mengganggunya.”

“Nah, untuk itulah kita harus memanfaatkan kedatangan setan itu. Begitu mereka tahu kita nulis pakai niat cari untung, ketenaran, dan macam-macam, maka justru semakin semangat kita. Setan juga akan datang tapi malah memberi tenaga tambahan. Ide-ide baru juga bisa keluar, tulisan jadi semakin kaya, semakin variatif,” kata Kiai Bisri.

“Jadi intinya, kita harus pandai-pandai menipu setan buat jadi bagian dari motivasi, ya?” balas Kiai Ali yang dibalas Kiai Bisri dengan anggukan sambil terkekeh.



Kiai Bisri termasuk penulis (muallif) yang produktif. Karya-karyanya melimpah, dengan warna yang beragam. Sebagian besar, karyanya ditulis untuk memberi pemahaman kepada masyarakat awam. Karya-karya Kiai Bisri Musthafa meliputi berbagai macam ilmu tauhid, fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, ilmu-ilmu kebahasaan Arab (nahwu, sharaf dan ilmu alat lainnya), hadits, akhlak, dan lain sebagainya. Salah satu karya fenomenal adalah Tafsir al-Ibriz, yang ditulis dalam Jawa Pegon. Karya beliau lebih dari 30 judul, di antaranya: Terjemah Bulughul Maram, Terjemah Lathaiful Isyarah, al-ikhsar fi ilm at-tafsir, Munyah adh-Dham'an (Nuzul al-Qur'an), Terjemah al-Faraid al-Bahiyah, Terjemah as-Sulam al-Munauraq, (Indonesia oleh KH. Khalil Bisri), Tanwir ad-Dunyam, Sanif as-Shalah, Terjemah Aqidah al-Awam, Terjemah Durar al-Bayan, Ausath al-Masalik (al-Khulashah), Syarh al-Ajrumiyah, Syarh ash-Shaaf al-Imrithi, Rafiq al-Hujjaj, Manasik Haji, at-Ta'liqah al-Mufidah Li al-Qasidah al-Munfarijah, Islam dan Shalat, Washaya al-Aba li al-Abna', Al-Mujahadah wa ar-Riyadhah, Tarikh al-Auliya', Al-Haqibah (kumpulan doa) jilid I-II, Syiir Rajabiyah, Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Syi'ir Budi Pekerti, Al-Asma wa al-Aurad, Syi'ir Pemilu, Zad az-Zu'ama wa Dzakirat al-Khutaba', Pedoman Pidato, Primbon, Mudzakirah Juyub Al-Hujjaj dan lain sebagainya.



Kiai Bisri Musthofa wafat pada usia 63 tahun, pada 16 Februari 1977. Ketika itu, warga Indonesia sedang menyongsong pemilu 1977 pada masa Orde Baru. Santri Nusantara membutuhkan sosok-sosok dengan kecerdasan lengkap dalam diri Kiai Bisri Musthofa. Alfaatihah.

Sumber:www.nu.or.id, tirto.id

1 comment: