Ada banyak versi mengenai sejarah berdirinya kerajaan Islam di wilayah Banten. Dan ironisnya versi yang lebih banyak diketahui oleh masyarakat adalah justru versi yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang usaha Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) bersama 98 orang muridnya mengislamkan
penduduk Banten. Secara perlahan-lahan, Islam dapat diterima masyarakat
sehingga banyak orang yang masuk agama Islam, bahkan Prabu Surasowan penguasa
Banten saat itu, yang merasa tertarik dengan ketinggian ilmu dan akhlak Syarif
Hidayatullah, menikahkan adiknya (pada versi lain disebut putrinya ), yang
bernama Nyai Kawunganten, dengan wali penyebar Islam di Tatar Sunda
tersebut.
Dari perkawinan ini lahirlah dua anak yang diberi nama
Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingking (Maulana Hasanuddin) atau Seda Kikin
oleh kakeknya, Prabu Surasowan.
Begitu sang prabu wafat,
kedudukannya diwariskan pada putranya yang bernama Arya Surajaya yang bergelar
Prabu Pucuk Umun (juga bergelar Ajardumas) yang kemudian memindahkan
pusat pemerintahan di wilayah Banten Girang tepatnya berada
disekitaran Gunung Pulosari Pandeglang, di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran.
Pada masa itu agama yang diakui secara resmi masihlah hindu.
Sementara itu, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon untuk menduduki posisi bupati Cirebon menggantikan ayahandanya yaitu pangeran Cakrabuana yang wafat, pangeran Hasanudin lebih memilih tetap tinggal di Banten untuk menjadi guru agama islam, dan mendirikan pesantren. Selanjutnya, ia dikenal memiliki banyak santri sehingga diberi gelar Syekh. Sejak itu, ketenarannya jauh melampaui karisma bupati Banten, yaitu pamannya sendiri Prabu Pucuk Umun. Dan sejak itulah, hubungan keduanya berubah tidak harmonis.
Meskipun berbeda tempat, namun Maulana Hasanudin tetap sering bersilaturahmi dan mengunjungi ayahnya. Waktu berlalu, hingga suatu hari Sunan Gunung Jati memberi tugas kepada anaknya untuk melanjutkan tugasnya menyebarkan dakwah di kota Banten karena ilmu agama Maulana Hasanudin yang dianggap telah berkecukupan. Tugas itu pun disanggupi Maulana Hasanudin. Bersama para santri didikannya, ia menyebarkan dakwah islam dari gunung ke gunung di sekitar Banten hingga ke Ujung Kulon.
Upaya Maulana Hasanudin Banten dalam menyebarkan agama islam bukan takmengalami hambatan, yang terbesar justru datang dari Prabu Pucuk Umun. Ia bersikeras ingin mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (agama Hindu yang dipengaruhi kepercayaan animism) sebagai satu-satunya agama resmi. Hal ini tidak menggentarkan semangat Maulana Hasanudin, ia justru terus menyebarkan dakwah islam dengan gencar.
Dikisahkan Ketika Maulana Hasanuddin akan menyerbarkan Islam ke wilayah pusat kerajaan di daerah gunung Pulosari beliau tidak langsung masuk ke Pulosari. Beliau terlebih dulu singgah di Banten Girang di daerah Sungai Dalung Serang, yang merupakan pintu gerbang memasuki wilayah kerajaan-kerajaan koloni Pakuan Pajajaran.
Kedatangan Maulana Hasanuddin di Banten Girang disambut hangat oleh kakak beradik yang menampuk jabatan di situ. Yakni Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Jo. Keduanya bahkan langsung masuk Islam tanpa kendala apapun, lalu mereka dijuluki oleh Maulana Hasanuddin dengan sebutan: Mas Jong (berikut anak-anaknya yang laki-laki dipanggil Ki Mas dan yang perempuan dipanggil Nyi Mas) dan Agus Jo (berikut keturunannya yang laki-laki tua dipanggil Ki Agus, muda dipanggil Entol, perempuan dipanggil Nyi Ayu).
Ki Mas Jong dan Ki Agus Jo merupakan sahabat sekaligus murid setia Maulana Hasanuddin. Mereka bertiga lalu mendatangi Prabu Pucuk Umun di Pulosari untuk memeluk Islam. Tetapi ajakan itu ditolak. Prabu Pucuk Umun justru menantang dan ingin menjajal kesaktian Maulana Hasanuddin di hadapan para ratu Pakuan dan Pajajaran, di daerah Tegal Papak, Waringin Kurung (sekarang berada di Wilayah kabupaten Serang, lokasinya berbatasan dengan kota cilegon).
Prabu Pucuk Umun menantang keponakannya untuk berperang. Bukan duel, melainkan adu ayam jago untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Jika ayam jago Pucuk Umun kalah, maka jabatannya sebagai bupati Banten Girang akan diserahkan pada Maulana Hasanudin, dan sebaliknya, jika ayam jago Maulana Hasanudin yang kalah, maka dakwahnya harus dihentikan. Tantangan itu pun diterima Maulana Hasanudin.
Duel dilakukan (pada versi lain dilakukan di lereng gunung Karang), dan dimenangkan oleh Maulana Hasanudin. Menurut beberapa versi, pertarungan tersebut bisa dimenangkan oleh Maulana Hasanudin karena bantuan pengawalnya yang juga ulama berilmu tinggi yang juga adakah murid sunan Ampel, yaitu Syekh Muhamad Sholeh yang atas izin Allah lantas menjelma menjadi ayam jago, namun versi lain juga menyebutkan bahwa kemenangan tersebut mutlak didapat karena ayam jago Sultan Hasanudin sangatlah kuat.
Setelah memenangkan duel tersebut, Pucuk Umun menepati janjinya dengan menyerahkan tahta bupati Banten. Selanjutnya, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri ke pedalaman Banten, tepatnya di sekitar Gunung Kendeng. Atas perintah Pucuk Umun, para pengikutnya diminta menjaga serta mengelola kawasan tersebut. Konon inilah yang menjadi awal mula urang Kanekes yang dikenal juga dengan sebutan suku Baduy.
Sementara itu, para pengikut Pucuk Umun lainnya yang sebagian besar terdiri dari punggawa dan pendeta lantas menyatakan masuk islam. Atas keberhasilannya, Sultan Hasanudin Banten diangkat oleh Sultan Demaj sebagai bupati Banten. Pemerintahan di Banten Girang kemudian dipindah ke Banten Lor di Utara pulau Jawa. Dari sinilah, tangan dingin Sultan Hasanudin terbukti mampu memajukan segala bidang. Ketika akhirnya Banten berubah menjadi kesultanan, Sultan Hasanudin tetap dipertahankan dan resmi menjadi Sultan pertama Banten.
Pada tulisan ini, penulis ingin menggaris bawahi mengenai peranan Mas Jong sebagai penduduk asli Banten yang secara sukarela memeluk agama Islam dan membantu perjuangan Maulana Hasanudin dalam penyebaran agama Islam. Hingga berdirinya kerajaam Islam Banten.
Sebagai pemimpin baru di daerah Banten, Maulana Hasanuddin bermaksud mendirikan istana kesultanan. Hanya saja atas saran Gunung Jati, Maulana Hasanuddin diminta menunaikan haji terlebih dulu. Beliau pun berangkat haji, setelah berpamitan terlebih dulu kepada muridnya Ki Mas Jong dan Ki Agus Jo, dengan pesan agar menjaga wilayah Banten.
Di Makkah, Maulana Hasanuddin selain menunaikan ibadah haji juga berbaiat tarikah Syattariyah, yang juga dianut oleh Sunan Gunung Jati. Hanya saja tidak ada kejelasan beliau berguru dengan siapa di Mekkah.
Sekembalinya dari Mekkah, beliau datang kembali di Banten menemui Ki Mas Jong dan Ki Agus Jo. Beliau mengajak muridnya itu berkunjung ke Lampung menemui Ratu Darah Putih untuk mengajak masuk Islam. Ratu Darah Putih pun langsung masuk Islam dengan penuh kesadaran tanpa peperangan.
Setelah berhasil mengajak penguasa Lampung masuk Islam, Maulana Hasanuddin kembali ke Banten Girang. Beliau menginginkan mendirikan kota negara di sebelah Utara Banten Girang. Beliau menunjuk Teluk Banten yang masih berbentuk rawa-rawa dan tambak sebagai basis kekuasaan politiknya.
Pilihan beliau jatuh pada dusun Pancaniti. Maulana Hasanuddin dinobatkan sebagai penguasa pulau Jawa bagian Barat, perwakilan Kesultanan Demak. Beliau disumpah, jumeneng di atas batu Gilang mengikuti tradisi raja-raja Jawa, sebagai sultan Banten pertama pada tahun 1552. Upacara ini dipimpin langsung oleh Sunan Gunung Jati sebagai wakil sultan Demak.
Beliau membangun pusat kekuasaan dengan terlebih dulu mendirikan Masjid Agung Lumbung di Banten Lama (Surosowan). Beliau menjadikan masjid sebagai pusat dakwah sekaligus pusat berkumpulnya sultan dengan rakyatnya. Beliau dibantu Ki Mas Jong dan Ki Mas Jo menata kawasan Surosowan sebagai cikal bakal pusat pemerintahan dan perdagangan.
Maulana Hasanuddin adalah waliyullah sekaligus raja yang arif dan bijaksana, sehingga disebut Panembahan Sabakingking yang berarti pemimpin yang bijaksana dan diterima masyarakat di mana saja. Beliau menundukkan lawan tanpa merendahkan mereka. Beliau menyebarkan Islam tanpa peperangan dan pertumpahan darah. Sekalipun bukan dari Banten asli, melainkan keturunan Jawa, beliau sangat dihormati oleh rakyatnya baik di Jawa Barat maupun Lampung.
Keistimewaan beliau yang lainnya adalah keturunan beliau sekalipun menjadi raja namun rata-rata menjadi ulama. Beliau wafat pada 1570 M. dan dikebumikan di sebelah Utara Masjid Agung Banten Lama. Sementara Mas Jong dan Mas Ju dimakamkan di daerah yang sampai saat ini masih disebut sebagai Banten Girang, lokasinya adalah dibagian selatan kota Serang di jalur yang menuju ke kota pandeglang.
Wallahu a'lam bishawab
Sumber: Dari berbagai sumber
Keterangan Foto : Makam Mas Jong
No comments:
Post a Comment