Bulan Maulid selalu menjadi bulan yang kami tunggu setiap tahunnya. Sebagai anak desa, kami selalu merasakan bahwa bulan maulid adalah bulan penuh kebahagian dan keceriaan bagi kami.
Desa kami terletak di jalan utama yang merupakan jalur penghubung antara jawa dan sumatera tepatnya di jalan post schweiz yang menurut sejarah dibangun pada zaman kolonial. Desa kami juga memiliki tradisi yang unik , karena merupakan percampuran antara tradisi sunda, betawi dan banten.
Jika bulan maulid tiba, seluruh warga di desa kami pasti akan melaksanakan acara Peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kami merayakannya dengan penuh suka cita, dan tak ada satupun diantara kami yang mempersoalkan perayaan tersebut. Tak pernah ada yang bertanya mengenai dalil ataupun asal-usul perayaan tersebut.
Saya kebetulan tinggal dibagian desa ini, yang merupakan satu RW (rukun warga). Yang terdiri dari 8 Rt, di wilayah kami ini terdapat 7 Mushola dan 1 Masjid.
Perayaan maulid di wilayah kami, dilaksanakan secara bergilir per mushola dengan puncaknya perayaan yang dilaksanakan di masjid. Perayaan ini biasanya dilakukan dalam rentang waktu antara satu hingga dua minggu, dengan sistem bergilir sesuai kesepakatan para sesepuh kampung.
Ada dua kegiatan yang menjadi tradisi kami pada saat bulan maulid yang selalu kami laksanakan, yaitu tradisi Nganteuran dan Tradisi Ngariung.
Tradisi Nganteuran
Nganteuran (dalam bahasa sunda yang berarti mengantar makanan). Adalah tradisi turun menurun yang dilaksanakan warga desa kami dan juga kebanyakan warga di wilayah banten dan tatar sunda.
Pada saat perayaan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi nganteuran ini dilakukan secara bergilir oleh warga yang di wilayahnya (dalam satu rt atau mushola) sedang melaksanakan perayaan, dengan mengantar makanan khas bulan maulid ke warga atau tetangga di wilayah rt atau mushola lainnya. Dan nanti akan dibalas dengan hal yang sama.
Makanan yang diantar adalah makanan khas bulan maulid, yaitu nasi putih dengan lauk opor ayam atau bebek ditambah dengan sayur "angeun santen" alias sayur lodeh yang isiannya terdiri dari pete,so'un kacang tunggak, irisan kentang dan kadang ditambah dengan "tiwu endog" alias terubuk. Sayur ini kalau dalam tradisi betawi disebut juga dengan nama sayur besan. Selain olahan ayam dan bebek, warga di desa kami juga biasanya menyertakan goreng ikan bandeng dan urap mateng dari olahan kacang panjang yang dimasak dengan serundeng kelapa sebagai pelengkap menu Nganteuran ini.
Pada saat saya masih kanak-kanak, tradisi nganteuran adalah hal yang paling ditunggu oleh kami semua. Karena kami bisa makan enak dengan menu yang berbeda dengan menu makan kami yang biasa. Kegiatan nganteuran biasanya dilakukan mulai sebelum sholat dzuhur hingga ba'da ashar.
Percaya atau tidak,Saat itu Makan dengan daging ayam atau bebek dan ikan bandeng bagi kami adalah hal yang jarang ditemukan kecuali pada saat bulan maulid,ruwahan dan hari raya saja.
Sehingga bagi kami,bulan maulid selalu menjadi bulan yang kami tunggu setiap tahunnya.
Tradisi Ngariung
Jika kegiatan nganteuran dilaksanakan pada siang hari, maka pada malam harinya kami melaksanakan satu lagi kegiatan peringatan maulid nabi dengan tradisi ngariung.
Ngariung biasanya dilaksankan setelah sholat isya. Ngariung biasanya diawali dengan pembacaan tahlil,sholawat dan doa kemudian dilanjutkan dengan marhabanan (membaca barjanji) dan ditutup dengan ceramah atau tausiah. Selesai ceramah, maka kegiatan berikutnya adalah membagi makanan khas maulid lainnya yaitu nasi putih dengan lauk bekakak ayam atau ikan goreng ditambah dengan urap matang.
Makanan biasannya dibagikan kepada seluruh jamaah yang hadir, kemudian makan bersama ada juga yang dibungkus dan dibawa pulang. Yang dibawa pulang ini biasanya disebut nasi berekat (berasal dari kata barokah).
Hikmah
Saat ini tradisi Nganteuran dan Ngariung masih dilaksanakan di desa kami, walaupun jumlah yang melaksanakannya semakin berkurang. Mungkin karena tergerus zaman atau entah oleh apa.
Bagi saya, tradisi ngariung dan nganteuran adalah sebuah bentuk kearifan lokal yang dilaksanakan oleh orang tua dan para pendahulu kami. Dalam rangka menanamkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW.
Mungkin ada yang bertanya , Kenapa harus dengan perayaan ? dan kenapa harus dengan makan-makan ?. Bukankah Rasulullah tidak menyukai pesta ?.
Saya coba menjelaskan, dan mohon maaf jika penjelasan saya mungkin tidak bisa memberi jawaban bagi pertanyaan di atas. Hal ini semata karena keterbatasan ilmu saya.
Kenapa harus dengan perayaan ?
Kami, (saya dan teman-teman saya). Adalah anak desa yang tidak terlalu memahami masalah tinjauan akademis mengenai maulid nabi ini. Orang tua kami pun bukanlah para pendidik yang memahami hal tersebut dari tinjuan secara akademis. Kalau bahasa gamblang nya kami adalah orang-orang bodoh.
Sebagai orang bodoh, kami mengenal Rasulullah SAW hayalah dari kisah yang dituturkan oleh para guru ngaji di kampung kami.
Selain bodoh, kami juga merupakan orang kampung yang malas dalam hal belajar. Untuk itulah para guru ngaji kami mencari cara, agar kami mau berkumpul dan mendengarkan penuturun mereka mengenai Rasuullah SAW. Nah agar kami bisa dikumpulkan dengan mudah, maka diadakanlah tradisi ngariung alias berkumpul ini.
Sementara tradisi Nganteuran kami lakukan bukanlah dalam rangka pemborosan, tapi dalam rangka berbagi. Bukankah Rasulullah selalu menganjurkan kita untuk saling berbagi dan memberikan sebagian makanan yang kita masak dengan para tetangga ?
Tulisan saya ini, bukalah sebuah tulisan yang didasarkan dari kajian akademis maupun penelitian, tapi hanyalah pengalaman yang saya rasakan.
Saya mohon kepada siapa pun yang membaca tulisan ini, untuk tidak menyalahkan kami yang hingga saat ini tetap melaksanakan peringatan atau perayaaan kelahiran Rasulullah SAW. Mungkin kita tidak sependapat tapi janganlah kita saling menggugat.
Bagi kami, peringatan kelahiran Rasulullah SAW. adalah sebuah cara untuk menanamkan rasa cinta kepada Rasulullah, khususnya bagi keluarga dan anak-anak kami.
Wallahu a'lam bishawab
Tangerang, November 2021
Mang Tebe.
Pemerhati sejarah dan budaya
No comments:
Post a Comment