INDO POS - JAWA POS
Meski sama-sama negeri dengan mayoritas penduduk muslim, tradisi Ramadan di Afghanistan berbeda dengan Indonesia. Tak ada "patrol" sahur di kampung-kampung, apalagi acara paket Ramadan di televisi. Berikut ini adalah Reportase langsung dari Afghanistan, oleh penulis kontributor Indo Pos, Jojo Rohi.
JOJO ROHI, Kabul
AWALNYA, saya membayangkan Ramadan di Afghanistan akan jauh lebih seru dibandingkan dengan tanah air. Bagaimana tidak, hampir 100 persen penduduk negeri yang berbatasan dengan Iran dan Pakistan ini beragama Islam. Tapi, pandangan saya ternyata keliru.
Di Afghanistan, jangan berharap mendapatkan "emosi" Ramadan seperti di tanah air. Saya ingat persis saat masih anak-anak di sebuah perkampungan di Surabaya. Setiap Ramadan tiba, warga selalu menyambutnya dengan semarak.
Saya biasanya ikut larut dalam "kothekan" (semacam patrol sahur) bersama kawan-kawan semasa kecil. Berkeliling kampung sambil menabuh bunyi-bunyian seadanya untuk membangunkan para tetangga makan sahur itu sungguh asyik. Teringat akan nostalgia masa kecil itu, saat menjelang subuh di Kabul saya menyelinap keluar hotel.
Tindakan saya ini memang melanggar protokoler keamanan bagi orang asing di Afghanistan. Sebab, sejak pertama tiba di ibu kota Afghanistan, dalam security briefing kami sudah diperingatkan untuk tidak keluar sendiri.
Langit masih gelap saat saya berjalan kaki keluar dari hotel tempat saya menginap. Oktober ini, Kota Kabul agak bersahabat karena tidak ada salju turun seperti tahun sebelumnya. Tapi, baru berjalan beberapa langkah, dinginnya udara menjelang subuh itu serasa menusuk tulang.
Saya sengaja menghindari jalan utama Kota Kabul. Sebab, di sana pasti nongkrong security guard dari tentara nasional Afghanistan dan patroli dari International Security Assistance for Afghanistan/ISAF (tentara NATO untuk operasi khusus di Afghanistan).
ISAF biasanya akan bertanya macam-macam (baca: interogasi) bila mendapati orang asing berjalan sendirian di gelapnya subuh. Saya memutuskan pilih jalur yang melewati area pertokoan dan perkantoran yang hanya dijaga satpam. Dan benar, saya menemui beberapa satpam dengan senjata Kalashnikov di pundak memandang saya penuh selidik. Agar tak mencurigakan, saya berusaha tampil "pecaya diri". Malam itu saya teringat Artyom Borovik, seorang wartawan Rusia, yang menulis dalam bukunya The Hidden of War bahwa "Afghanistan adalah sekolah untuk uji nyali".
Satu-satunya peralatan elektronik yang menemani saya saat itu hanya handphone satelit yang terselip di balik jaket. Selain itu, tentu saja paspor dan kartu identitas sebagai international observer yang tak boleh lepas dari badan ke mana pun saya pergi.
Saya tiba di perkampungan warga Kabul dengan perasaan masih waswas. Saya teringat beberapa kasus penculikan di kota ini. Orang asing adalah sasaran empuk penculikan, bukan saja karena motif politik, tapi juga karena motif tebusan uang.
Terlihat lampu menyala di sebagian perumahan, menunjukkan adanya aktivitas di dalamnya. Saya lihat sebagian penghuni sedang makan sahur. Sementara sejumlah keluarga lain selesai makan sahur dan kembali memadamkan lampu, tidur.
Rupanya, memang hanya itu ritme sahur di sini: makan sahur, menunggu untuk salat subuh, kembali tidur, lalu bangun pada saat fajar dan melakukan pekerjaan sehari-hari seperti biasa. Siklus seperti itu pula yang dilakukan intepreter dan driver saya di Provinsi Herat.
Saat sahur (orang Afghan menyebut sahar) telah lewat, tak ada tanda-tanda apa pun, tak terdengar suara canda anak-anak kampung dan orang-orang yang cangkruk setelah makan sahur. Sesuatu yang umum saya dapati di kampung-kampung di tanah air.
Yang saya temukan hanya subuh yang senyap, seperti layaknya hari-hari biasa sebelum Ramadan. Bahkan, suara speaker masjid tak cukup mampu menjangkau orang-orang di pinggiran kampung, apalagi membangunkannya. Berbeda sekali dengan Surabaya, suara loudspeaker itu tidak hanya dipakai untuk mengingatkan saat buka dan sahur, tapi juga tadarus membaca Alquran.
Saat kembali ke hotel, saya masih penasaran. Saya nyalakan TV, seharian nongkrongi channel TV lokal Afghanistan. Wah, ternyata juga tak ada acara-acara yang secara khusus dipersiapkan untuk Ramadan. Saya bandingkan dengan stasiun-stasiun TV di Indonesia yang saat ini berlomba untuk menayangkan acara-acara Ramadan, dari pagi hingga pagi lagi.
"Ramadan di Afghanistan memang datar," ungkap Pak Suhaswoto Hidyoningrat, Charge d' Affaires Indonesia di Kedubes RI di Kabul, Afghanistan, saat saya mintai komentar tentang Ramadan di negeri yang baru bebas dari rezim Taliban itu.
Suasana beku itu agak teratasi dengan kunjungan para observer dari KIPP Indonesia (memantau pemilu di Afghanistan) yang berjumlah tujuh orang pada acara buka bersama di Kedutaan Indonesia di Kabul. Menu makannya nasi pecel, lengkap dengan bumbu kacang yang pedas. Surprise! Sebab, selama sebulan penuh kami hanya makan kebab di pedalaman Afghanistan.
Selama ini, bila kangen masakan yang agak mirip dengan masakan Indonesia, kami hanya bisa mendapatkannya di sebuah restoran Thailand di Kabul. "Inilah uniknya Thailand. Kedutaannya belum ada di Afghanistan, tapi restorannya sudah buka dulu," kata seorang teman dari Bangkok.
Buka bersama di kedutaan itu benar-benar tak terlupakan. Meski nasinya dari beras Persia yang bulirnya lebih panjang dan kandungan airnya sedikit, menu pecel itu terasa sangat lezat. Apalagi, bumbu pecelnya asli dibawa dari tanah air. "Ini nasi pecel made in Afghanistan," kata seorang teman sambil terkekeh.
Seorang kawan Indonesia yang ditempatkan di utara Afghanistan juga menceritakan betapa beratnya berpuasa di Afghanistan. Misalnya, untuk sahur dia hanya makan sepotong semangka. Tanpa roti kebab, apalagi nasi. Sebab, pemilik guest house tempat dia menginap memang tak menyediakan masakan untuk sahur.
Bagi sebagian orang Afghan, makan sahur memang tidak penting. Tak seperti orang-orang Indonesia yang umumnya "membiasakan" makan sahur. "Jadi, semangka bekas hidangan pencuci mulut pada makan malam pun terpaksa kami pakai sahur," kata teman saya.
Afghanistan dan kebanyakan negara yang mayoritas penduduknya muslim di dataran Persia dan Timur Tengah memang tak merayakan Idul Fitri (penutup Ramadan) sebagai hari raya utama. Hari raya yang diperingati secara besar-besaran justru Idul Adha. Faktor ini rupanya yang menjadi salah satu penyebab suasana Ramadan tak sesemarak di Indonesia.
"Cuma Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang mempunyai tradisi Ramadan yang semarak," kata Suhaswoto Hidyoningrat. (**)
No comments:
Post a Comment