Akhir-akhir ini masyarakat kerap mendengar makna pragmatisme. Walaupun kemungkinan belum terlalu paham, tapi kalangan awam sepintas mengkonotasikan pragmatisme sebagai sebuah sikap atau jelas yang negatif. Ada kesan hipokrit dan manipulatif.
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani "pragma" yang bermakna perbuatan atau tindakan. "Isme" di sini serupa bermakna dengan isme-isme yang lainnya yakni bermakna aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme berarti: ajaran yang mengutamakan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya adalah "faedah" atau "manfaat". Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar andaikata membawa suatu hasil/manfaat.
Istilah pragmatisme berkunjung dari Immanuel Kant yang menurutnya adalah "keyakinan-keyakinan hipotesa spesifik yang mencakup penggunaan suatu layanan yang merupakan suatu kemungkinan riil untuk mencapai obyek tertentu". Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berkembang di Amerika Serikat. Filsafat ini berkembang di Amerika terhadap abad ke-19 sekaligus menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh-tokohnya seperti Charles Sander Peirce, William James, dan John Dewey. Aliran ini menjadi sebuah aliran pemikiran yang terlalu mempengaruhi segala bidang kehidupan Amerika. Pragmatisme mencerminkan pandangan hidup bangsa Amerika secara keseluruhan.
Pada praktiknya, pragmatisme menuntut dua syarat; Pertama, ide atau kepercayaan yang mendasari ketetapan yang perlu diambil alih untuk melakukan tindakan tertentu. Dan yang kedua, obyek dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak mampu dipisahkan.Bagi kalangan pragmatis, suatu hal dianggap benar jikalau berfaedah bagi manusia, berfaedah dalam praktek dan mampu memenuhi tuntutan hidup manusia.
Pragmatisme Politik
Sepintas pragmatisme seperti cara berpikir yang benar. Mudahnya, jikalau sebuah ide atau ideologi tidak mampu diterapkan dan diambil alih manfaatnya dalam praktik, maka bikin apa dipertahankan. Kebenaran -- menurut kaum pragmatis -- adalah yang terbukti berfaedah dalam praktik. Bukan teori an sich. Jika suatu hal tidak menambahkan keuntungan bagi manusia, ia layak ditinggalkan. Sekalipun perihal itu punya nilai ideologis dan idealis.
Inilah sebenarnya mudlorot (bahaya) pragmatisme. Ia dengan gampang mengkhianati kebenaran sejati dalam pandangan ideologi dan tataran idealis. Pragmatisme mendorong manusia senantiasa mengidamkan keuntungan yang seketika. Akibatnya ia bakal melakukan tindakan apa pun untuk mewujudkannya.
Faktanya, keuntungan itu kerap bersifat subyektif. Bergantung terhadap manusia itu sendiri dan kelompoknya. Belum tentu suatu hal yang dianggap benar oleh sekelompok orang, adalah kebenaran yang sejati. Begitupula kegunaan yang dirasakan sekejap mampu menjadi membawa mudlorot di saat lain.
Di kancah politik kekinian, pragmatisme dijadikan world of view oleh banyak insan politik dan parpol. Walau saat kampanye banyak menjanjikan keberpihakan terhadap rakyat, tapi ucapan dan tindakan mereka mampu ditebak sebatas mengamankan kedudukan mereka. Masyarakat kerap lihat parpol-parpol yang seolah bermusuhan, tapi lantas gampang berangkulan dalam saat singkat. Banyak insan politik dan pejabat yang mengumbar kalimat berpihak terhadap rakyat, tapi melepaskan hajat hidup rakyat naik harga atau dikuasai pihak asing.
Menilik dari segi ajarannya, maka pragmatisme sebenarnya merugikan dan membahayakan masyarakat. Siapapun yang memakainya sebagai cara berpikir dan bertindak, tidak ulang mengindahkan rasa keadilan dan kebenaran yang objektif. Kaum pragmatis tidak butuh ulang ideologi dan nilai-nilai idealis. Bagi mereka, yang terpenting adalah mendapatkan keuntungan spontan bagi dirinya dan kelompoknya. Dengan demikian ketetapan dan nilai-nilai ideologi rawan untuk dimanipulasi.
Dengan demikian pragmatisme menjadikan pelakunya senantiasa bersikap oportunis dan hipokrit. Bagi mereka yang terpenting bukanlah menjaga idealisme dan ideologi, tapi mendapatkan keuntungan dari tindakan yang mereka lakukan. Tidak acuhkan bahwa keuntungan itu hanya bersifat jangka pendek.
Dalam kehidupan sehari-hari pragmatisme diterjemahkan dalam sebuah peribahasa lama; tiada rotan, akar pun berguna. Atau dalam praktiknya pragmatisme digunakan masyarakat dengan makna "daripada". Logika "daripada" ini padahal seringkali ‘menyesatkan’. Orang merasa aman melakukan suatu hal yang salah dengan cara pandang ‘daripada’. Misalnya, daripada parlemen dikuasai orang-orang jahat, mending kita yang kuasai. Meski realitanya mereka sendiri berkoalisi dengan orang-orang yang mereka sebut ‘daripada’. Itulah pragmatisme.
Oleh dikarenakan itu telah saatnya rakyat Indonesia, terlebih umat muslim, meninggalkan cara berpikir pragmatisme dan ‘daripada’. Tidak senantiasa akar mampu mengambil alih rotan. Jika kita masih mampu mendapatkan rotan mengapa perlu mengambil alih akar pohon? Jadilah rakyat dan politisi yang idealis, yang setia terhadap kebenaran dan ideologi, bukan melacak keuntungan sesaat. Apalagi jikalau keuntungan itu hanya berlaku untuk group spesifik saja dan manipulatif pula.[ ]
Friday, July 29, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment