Pembantaian Pasca Proklamasi Kemerdekaan - Balaraja untuk kita semua

Breaking

Wednesday, August 7, 2019

Pembantaian Pasca Proklamasi Kemerdekaan

75 Tahun sudah Indonesia merdeka, Begitu banyak peristiwa yang terjadi dan tak tercatat dalam sejarah bangsa ini. Jutaan nyawa melayang sudah dalam rangka memperoleh kemerdekaan ini. Dan seharusnya dicatat dengan tinta emas agar kita selalu bisa mengenal dan memahami sejarah bangsa ini. Dirgahayu Negeriku, semoga semuanya berjalan ke arah yang lebih baik.


17 Agustus 1945 Negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya, sebuah penantian yang teramat panjang akhirnya berakhir. Suka Cita dan haru serta gegap gempita kebebasan menyelimuti seantero nusantara.

Sebulan kemudian, tepatnya 16 September 1945, berlabuhlah kapal HMS Cumberland yang membawa Laksamana Patterson dan Van der Plas, di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Yang datang dengan dalih agenda penyerahan kekuasaan Jepang dan pengembalian orang-orang Belanda yang ditahan di Indonesia. Tapi ternyata di balik itu, Sekutu memboncengi Belanda dengan satu kepentingan: menegakkan kembali kekuasaan kolonialisme di Indonesia.



Bangsa yang tengah Diselimuti kebanggaan dan semangat kebebasan hidup dalam negara merdeka, maka rakyat Indonesia tak langsung percaya penuh maksud kedatangan Sekutu. Mereka juga tetap mencurigai semua orang Eropa yang masih berada di Indonesia.

Bersamaan dengan itu, orang-orang Belanda yang ada di Indonesia, baik sipil maupun miiter yang sebelumnya ditahan oleh Jepang, pun tak mengakui kemerdekaan Indonesia. Bahkan banyak dari mereka yang menganggap kemerdekaan itu sebagai lelucon. Dan mereka pun mulai merasa bebas kembali beraktivitas di ruang publik.

Tak pelak lagu, suasana sukacita kemerdekaan mesti dihayati rakyat Indonesia dibalut rasa  sentimen terhadap orang-orang Belanda. Saat itu kehendak masyarakat untuk bertindak tak lagi bisa dikendalikan.

Maka barulah saat itu revolusi menampakkan wajah garangnya. “Gelombang revolusi di Jakarta segera berubah berbalik melawan kaum nasionalis sehingga membelokkan revolusi menjadi terorisme kota,” ujar Robert Cribb, Indonesianis asal Australia, dalam bukunya yang berjudul Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.






Carut-marut teror menghantui kota. Sasarannya bukan saja orang-orang Belanda yang mudah dikenali secara fisik, dan juga orang-orang Indonesia yang dituding bekerja sama dengan Sekutu dan ingin kembali menjadi hamba mereka sebagaimana mereka alami sebelum pendudukan Jepang.

Di Pelabuhan Tanjung Priok,  sudah tampak perlawanan dari para buruh. Mereka melakukan pemogokan dan menolak permintaan orang Eropa untuk menjaga galangan-galangan kapal.
Di sejunlah pasar, para pemuda nasionalis melarang para pedagang untuk menjual makanan mereka kepada orang Eropa. Para pelayan orang Eropa yang dicurigai juga diinterogasi dan akan dibuntuti ketika mereka berbelanja.



Corat-coret tulisan dengan nada ancaman dan pengambilalihan, seperti tulisan “Milik Republik”, mewarnai sejumlah tembok dan gedung-gedung penting.
Suasana bulan-bulan terakhir tahun 1945 itu disebut Cribb sebagai masa penculikan,perampokan, perampasan, dan juga pembunuhan acak di jalanan. Orang-orang Belanda banyak yang menghilang, bahkan ketika berada di tengah kota, dan beberapa hari berikutnya mereka ditemukan mengambang di salah satu saluran air.

Banyak orang Belanda yang sedang berjalan-jalan, tiba-tiba disergap lalu dicekik atau dipotong-potong. Mayatnya kemudian dibuang ke saluran air. Molenvliet, adalah sebuah kanal panjang yang mengalir ke selatan dari Kota Tua, adalah tempat yang sangat disukai untuk melakukan penyergapan semacam ini. Demikian juga jalan utama dari Senen ke arah Jatinegara.
Kegilaan itu membuat kata getjingtjangd menjadi populer di kalangan orang-orang Belanda untuk menggambarkan mengenai kengerian tindakan memotong-motong tubuh atau yang sekarang dikenal dengan mutilasi. Sayang sekali peristiwa itu tidak cukup terdokumentasi. Tindakan-tindakan itu kemungkinan dilakukan oleh para pemuda ekstremis.


Tak hanya di jalanan saja, teror tersebut juga menghantui orang-orang Belanda sampai ke rumah-rumah mereka. Para pemuda mulai bertingkah aneh di lingkungan sekitar rumah-rumah orang Belanda itu, seolah mereka mengisyaratkan penghuninya sudah ditandai untuk dieksekusi.
Maka terjadi pula pembunuhan terhadap para penghuninya. Tak heran jika periode yang kerap disebut “Masa Bersiap” ini pun identik dengan masa gelap dan pembantaian massal.

Jeanette Tholense, salah seorang saksi dari masa itu, masih mengingat kejadian malang yang menimpanya di sebuah siang di bulan Oktober 1945. Roland Najoan, dalam artikel “Zaman Berdarah” yang dimuat Historia, menceritakan kisah Jeanette. 

Saat itu sekelompok pemuda bersenjata menyerbu rumah orangtua Jeanette di Kerkstraat (kini Jalan Pemuda), Depok. Selain merampok, para pemuda juga membunuh Hendrick Tholense, salah seorang saudaranya.


Merasa tak aman, Jeanette dan keluarganya kemudian mengungsi ke rumah saudara mereka di Jalan Bungur, Jakarta Selatan. Tapi  mereka malah jatuh ke tangan para pemuda ekstremis.
“Kami Semua disuruh buka baju. Dengan kondisi setengah telanjang, kami digiring ke Stasiun Depok,” ungkap Jeanette.

Najoan juga mencatat, ada sekelompok pemuda yang menculik 23 orang Eropa, 7 orang Indonesia, 5 orang Tionghoa, dan 4 orang Ambon. Mereka kemdian dikumpulkan di bawah pohon asam di sebuah tempat perbatasan Jakarta-Tangerang. Lalu 39 orang itu dibantai dengan menggunakan golok, pisau belati, dan pistol.

Kengerian serupa terjadi di kota Bandung. R.H.A. Saleh dalam tulisannya “Mari Bung, Rebut Kembali!” menggambarkan kejadian tersebut.
“Rumah-rumah keluarga Belanda dikepung di waktu malam, dan para penghuninya dibantai dan tubuhnya dilempar ke kali. 



Ia mengisahkan saat itu penduduk akan berteriak “Siaaap!” dan disahut dengan teriakan-teriakan yang sama oleh yang lainnya. Mereka kemudian menghambur ke luar rumah untuk menangkapi orang-orang Eropa. “Jika orang itu berhasil ditangkap, kadang-kadang secara beramai-ramai diarak mengelilingi kampung untuk kemudian ‘diselesaikan’ (dibunuh). Tidak peduli laki-laki atau perempuan, dewasa atau kanak-kanak, di mana saja ditemukan, mereka menjadi sasaran buruan para pemuda yang beringasan,” kisah Saleh.

Kisah demikian di Slawi, Dalam harian Soeloeh Rakyat, 5 September 1947, polisi-sipil memberitahukan ada 17 orang Belanda dewasa dan 5 anak-anak menjadi ‘korban zaman bersiap’ pada 11 Oktober.

“Mereka dikumpulkan di suatu tempat, kemudian diperintah membungkukkan diri mereka di depan bendera merah-putih serta berpekik ‘merdeka’, dan setelah selesai ‘upacara’ itu, mereka dibunuh dengan martil dan bambu runcing. Kanak-kanak dilempar tinggi dan kemudian ditangkap dengan bambu runcing. Korban-korban yang belum semuanya mati itu,langsung dilemparkan saja ke lobang kuburan yang sudah disediakan.”

Atas situasi itu, tidak sedikit orang-orang Belanda yang mendatangi kamp interniran. Mereka memilih untuk bertahan di sana di bawah pengawasan tentara Jepang daripada diselubungi kabut teror dan menjadi korban para pemuda ekstremis.


Teror balasan terhadap masyarakat Indonesia juga akhirnya terjadi. Namun dengan cara yang berbeda, orang-orang Belanda melakukan teror melalui Batalyon X,. Teror balasan terjadi ketika kekuatan militer Belanda di Indonesia yang diboncengi Sekutu sudah cukup kuat dan percaya diri. Cribb menggambarkan aktivitas mereka terkesan main-main tapi sangatlah brutal. Anggota batalyon mengendarai truk berkeliling kota sambil menyanyikan lagu-lagu Belanda dan melepaskan tembakan liar. Setiap orang Indonesia yang kelihatan mengenakan atribut Republik akan menjadi sasaran kekerasan dan pembunuhan.

Mereka yang mengenakan lencana bendera Indonesia di bagian dada bajunya, akan dipaksa untuk menelan lencana tersebut. Padahal lencana itu bukan hanya terbuat dari bahan kain, melainkan juga ada yang dari bahan logam potongan kaleng. Ada pula yang dibawa ke suatu tempat untuk diinterogasi, dan tidak pernah kembali. Teror juga terjadi dalam bentuk pembakaran juga perampokan. 

Di Jakarta, kekerasan dan pembunuhan itu tidak lepas dari peran kalangan kriminal. Pada masa awal revolusi, kalangan dunia kriminal di Jakarta adalah bagian penting untuk mempertahankan Republik dan membentuk gambaran sebuah negara bersatu melawan ancaman kembalinya kolonialisme.

Pada Masa Bersiap itu, memang terjadi koalisi antara bandit dengan kelompok muda nasionalis. Cribb menyebut peran mereka lumayan penting. Bahkan koalisi yang mencapai puncak kekuasaannya sebagai Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) itu sempat menjadi salah satu bentuk gerakan bersenjata paling berpengaruh selama masa perjuangan.