Sungguh menyedihkan menyaksikan Kejadian pada beberapa tahun belakangan
ini. Banyak sekali orang maupun kelompok yang menghina para ulama,
melarang dakwah, bahkan hingga melakukan kekerasan pada para pewaris Nabi
tersebut.
Karena masalah politik dan alasan persatuan bangsa, banyak pihak
mendiskreditkan para ulama. Ulama dicap anti kebersamaan , bahkan dicap
anti pancasila. Sungguh mereka benar-benar tidak mengetahui betapa
besarnya peranan ulama di negeri ini.
Semoga tulisan berikut dapat memberi pemahaman kepada kita semua, betapa
begitu besarnya peranan dan kontribusi para ulama kepada negeri tercinta
ini.
1. Republik Indonesia, berasal dari gagasan para ulama Aceh.
Sejarah versi belanda menyebutkan bahwa nama Indonesia ditemukan oleh
pihak barat pada tahun 1892. Dalam beberapa literatur lainnya
disebutkan bahwa Tan Malaka adalah pencetus awal istilah Republik
Indonesia. Hal ini didasarkan atas tulisan panjangnya yang berjudul
Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Tokoh
pergerakan kelahiran 1897 itu menulis bukunya pada usia 28 tahun. Tepatnya
tahun 1925.
Begitu fenomenalnya buku tersebut, sampai-sampai – menurut pengakuan
Sayuti Melik – Bung Karno tak pernah meninggalkan buku tersebut dalam tiap
memimpin klub debat kala belajar di Bandung. Begitu pula Muhammad Yamin.
Dia tak hanya menyukai buku itu, tapi juga begitu mengidolakan Tan
Malaka.
Namun, benarkah gagasan Republik Indonesia pertama kali Tan Malaka yang
melontarkan? Tak adakah penulis dan pemikir Indonesia sebelumnya yang
mempunyai gagasan tentang Republik Indonesia?.
Ternyata dalam beberapa naskah yang bertarikh lebih dahulu ketimbang buku
Naar de Republiek Indonesia-nya Tan Malaka telah ada yang mengungkapkan
gagasan tentang Republik Indonesia.
Gagasan tentang Republik Indonesia ternyata telah dikemukakan oleh
beberapa ulama asal Aceh. Dimana gagasan tentang Republik Indonesia itu
dituliskannya dalam beberapa naskah.
Dalam sebuah naskah yang berbentuk surat di Kesultanan Aceh istilah
Republik Indonesia muncul. Kutipan teks tersebut sebagai berikut:
Surat nasehat istimewa kepada utusan kerajaan Aceh melawan Holanda
[Kompeni Belanda]:
Bismillahirrahmanirrahim. Wal’aqibatu lil-muttaqin, washshalatu wassalamu
ala sayyidina Muhammadin wa ala alihi washahbihi ajma’in. Fa’lam ya
ikhwanalmuslimin al-asyi khushushiyatan [propinsi], ya ikhwanal muslimin
wa ikhwanana Bawah Angin [nusantara] umumiyatan [nasional] Jumhuriyah
al-Indonesiyah [Republik Indonesia].
Syahdan sebermula maka ketahuilah olehmu hai sekalian ikhwan bahwa pada
tahun hijrah seribu dua ratus sembilahpuluh (sanah [tahun] 1290 H), yaitu
pada satu hari bulan Muharram hari Sabtu, bertempat dalam Mesjid
Baiturrahim, dalam Daru-d-dunya, yaitu di Istana Kerajaan Tuan Kita Paduka
Sri Sultan Alauddin Mahmud Syah....”
Naskah yang tersimpan di Perpustakaan A. Hasyimi tersebut menunjukkan
tanggal 1 Muharram 1290 H. Dimana dalam tabel Wolseley Haig, tanggal
tersebut bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1873. Lima puluh dua (52) Tahun
lebih awal dibanding bukunya Tan Malaka.
Istilah Jumhuriyah Indonesia juga muncul dalam naskah yang berangka tahun
lebih awal lagi. Dalam sebuah tulisan Tengku di Mulik Sayyid Abdullah
Jamalullail (w. 1299 H), pada tahun 1288 H atau bertepatan dengan tahun
1871 M, juga menulis istilah tersebut. Lebih hebatnya lagi, tulisan yang
berisi tentang ramalan Syekh Ibrahim bin Husain Buengcala (Kuto Baro,
Aceh), tersebut juga memuat kapan Jumhuriyah Indonesia akan merdeka.
Kutipan naskah yang telah disahkan dan distempel oleh Kesultanan Aceh itu
berbunyi:
“Negeri bawah Angin [Nusantara] istimewanya akan lepas daripada tangan
Holanda [Belanda], sesudah Cina bangsa lukid [mata sipit, maksudnya bangsa
Jepang] masuk. Maka insya Allah ta’ala pada tahun Hijrah 1365 [yakni tahun
1945 Masehi] lahir satu kerajaan yang adil-bijaksana dinamakan
al-Jumhuriyah al-Indonesiyah yang sah.....”
Dari dua naskah tersebut, setidaknya, dapat membantah bahwasannya
penggagas Republik Indonesia pertama kali adalah Tan Malaka. Gagasan
Republik Indonesia yang menggunakan istilah al-Jumhuriyah al-Indonesiyah
itu adalah para ulama Aceh.
2. Bendera Merah Putih Berasal dari Mimpi Seorang Ulama
Pada Muktamar NU tahun 1937 atas pesan Habib Idrus Salim Aljufri, Mbah
Hasyim Asyari (KH. Muhammad Hasyim Asy'ari ) mengusulkan bahwa bendera
Indonesia adalah Merah Putih.
Habib Idrus Salim Al Jufri, adalh pendiri Al Khairaat di Kota Palu
(Sulawesi Tengah). Beliau adalah adik kelas Mbah Hasyim Asyari pernah
mengatakan bahwa beliau pernah bermimpi Nabi Muhammad SAW dan pesan dalam
mimpi itu adalah "nanti kalau Indonesia merdeka benderanya adalah Merah
Putih".
3. Hari kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah hasil Istikharah Seorang
Ulama
Founding father para tokoh pendiri bangsa kita terdahulu tidak
sembarangan menentukan hari dan tanggal Kemerdekaan Republik Indonesia
(RI). Meskipun buku-buku sejarah tak mencantumkan jasa besar para ulama
dan habib yang turut berperan sentral dibalik peristiwa monemental itu.
Kalam ulama dan petuah nasihat para habib menjadi pedoman sekaligus
motivasi keberanian para pendiri bangsa mengambil keputusan-keputusan
besar penuh risiko. Sebab doa-doa merekalah yang menyertai setiap
langkah perjuangan pendirian bangsa ini sehingga semua bisa dicapai
dengan penuh kegemilangan.
Ir Soekarno dalam banyak langkah mengambil keputusan besar, termasuk
menentukan hari dan tanggal Kemerdekaan RI seringkali berdiskusi dan
meminta pendapat para ulama di antaranya Habib Ali bin Abdurrahman
Al-Habsyi Kwitang.
Maka, ditentukanlah hari penuh berkah pada hari Jumat pagi pada tanggal
17 Agustus 1945 yang juga bertepatan dengan 17 Ramadhan. Tentu,
kesesuaian ini bukan semata karena kebetulan atau kecocokan tanpa
sengaja, melainkan atas dasar petunjuk istikharah, isyarat kewalian
serta doa dari para ulama dan habib.
4. Paskibraka Pertama dibentuk oleh seorang Habib
Paskibraka yang dulu belum disebut dengan panggilan ini dicetuskan
oleh Pria bernama Husein Mutahar (H Mutahar). H Mutahar sendiri adalah
Mayor (Laut) yang merupakan salah satu dari ajudan Presiden pertama
Indonesia, Soekarno.
Pria ini bernama lengkap Sayyid (Habib) Muhammad Husein bin Salim bin
Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar dan dipanggil dengan nama H.
Mutahar. Beliau lahir di Semarang, 5 Agustus tahun 1916 dan wafat di
Jakarta pada 9 Juni 2004.
Dikutip dari laman Majeliswalisongo Jumat (18/8/2017) menurut Ulama
besar pengurus ponpes An-Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo, KH. Achmad
Chalwani Nawani, H Mutahar merupakan paman dari ulama besar Semarang,
Habib Umar Mutahar.
Paskibraka dibentuk pada tahun 1946 atas perintah Presiden Soekarno
kepada Mayor M. Husein Mutahar.
untuk upacara kenegaraan peringatan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada 17 Agustus 1946 di Halaman Istana Presiden
Gedung Agung Yogyakarta.
H Mutahar sempat berpikir bagaimana caranya upacara tersebut dapat
menumbuhkan rasa persatuan bangsa. Akhirnya, Mutahar memutuskan, saat
pengibaran bendera pusaka sebaiknya dilakukan oleh para pemuda
Indonesia. Mutahar akhirnya menunjuk lima orang pemuda yang terdiri
atas tiga orang putri dan dua orang putra sebagai perwakilan daerah
yang berada di Yogyakarta untuk melaksanakan pengibaran bendera
pusaka. Bukan tanpa alasan mengapa Mutahar hanya memilih lima pemuda
dan pemudi. Alasannya, angka tersebut melambangkan Pancasila atau lima
sila sebagai dasar negara Indonesia.
Selain berjasa pada dunia Paskibraka, pria yang mwafat pada 9 Juni
2004 silam ini berjasa menyelamatkan sang Merah Putih saat Agresi
Militer Belanda II mengepung Gedung Agung, Jogja pada 19 Desember
1948.
H Mutahar kembali menangani soal pengibaran bendera pusaka ketika
dipanggil oleh Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, pada tahun
1967. Dengan ide dasar dan pelaksanaan tahun 1946 di Yogyakarta,
Mutahar kemudian mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3
kelompok.
H Mutahar mengembangkan Paskibraka menjadi tiga kelompok yang seirama
dengan momen 17-8-45 atau tanggal 17 Agustus 1945, yaitu: Kelompok 17
sebagai Pengiring atau Pemandu Kelompok 8 sebagai Pembawa atau Inti
Kelompok 45 sebagai Pengawal Kala itu, dengan kondisi yang ada,
Mutahar melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan anggota
Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka.
Mulai tahun 1972, anggota Paskibraka merupakan siswa/siswi SMA utusan
dari semua provinsi di Indonesia.
H Mutahar, Pria yang menguasai enam bahasa ini juga berjasa
menciptakan lagu-lagu kebangsaan, diantaranya Hari Merdeka, Hymne
Indonesiaku dan Dirgahayu Indonesiaku.
Penutup
Semoga tulisan ini membuat kita memahami betapa besarnya peranan para
ulama, dalam terbentuknya negara yang kita cintai ini.
Sumber: Rumah Baca Mawar, Kompas.com, Islami.co, beritatrans,
tempo
🤝
ReplyDelete