Sejarah ayam Wareng Tangerang dimulai saat seorang peternak di desa Pasir Gadung, Cikupa, memperoleh 36 telur ayam Rusia di awal tahun 1980.
Telur yang menetas memperlihatkan sifat unggul ayam petelur yaitu berbentuk badan kecil, berproduksi tinggi, memiliki jengger dengan bulu mahkota, tetapi tidak memiliki sifat mengeram dan berpenampilan liar.
Melihat beberapa keunggulan dari ayam tersebut, salah seorang peternak bernama Armin kemudian menyilangkan lagi dengan ayam buras asli Rusia hingga generasi ketiga.
Dari sini diperoleh turunan ayam dengan bentuk tubuh ramping dan menyerupai ayam Rusia. Turunan ayam inilah yang kemudian dikenal sebagai ayam Wareng Tangerang. Kata “Wareng” berasal dari bahasa Jawa yang berarti kecil.
Iskandar et al. (2004) menyatakan bahwa bobot tubuh, warna bulu dan ukuran tubuh ayam Wareng Tangerang mirip dengan ayam Wareng Indramayu, hanya saja ayam Wareng Tangerang mempunyai ciri khas jambul di atas kepala betina dan memiliki warna bulu dan kulit yang dominan putih (Susanti et al., 2006).
Ayam lokal ini tersebar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Suara kokoknya cukup nyaring. Gerakan Ayam Wareng sangat lincah sehingga agak sulit ditangkap.
Ukuran kepala dan leher pejantan kecil. Kakinya ramping dan panjang. Terdapat tiga warna bulu pada ayam ini yakni hitam, blorok (belang-belang putih dan hitam), dan putih. Berat tubuh ayam pejantan dewasa rata-rata 1,5 kg dan ayam betina sekitar 1 kg.
Umur kawinnya tergolong muda, yakni empat bulan. Produksi telurnya berkisar 15 butir per periode bertelur. Apabila dipelihara secara intensif produksi telurnya dapat mencapai 24-28 butir per periode bertelur, dikarenakan induk betina tidak memiliki sifat mengeram. Turunan ayam ini dapat direkomendasikan untuk jenis produksi telur seperti ayam Kedu.
No comments:
Post a Comment