Indahnya Khilafiyah Buya Hamka & KH Idham Chalid - Balaraja untuk kita semua

Breaking

Sunday, October 18, 2020

Indahnya Khilafiyah Buya Hamka & KH Idham Chalid


Perbedaan pendapat seringkali menjadi pangkal ketidak harmonisan antar sesama. Baik itu antar teman, sesama saudara, antar tetangga, hingga perbedaan antar kelompok keyakinan.

Islam adalah agama dengan jumlah umat terbesar di Indonesia. Akan tetapi, adanya perbedaan dalam memahami dan meyakini suatu pendapat seringkali menjadikan umat Islam di negeri ini seolah-olah terpecah menjadi beberapa kelompok.



Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi, karena hanya akan menjadi konsumsi bagi musuh umat islam yang sebenarnya. Saat ini, perbedaan pendapat dikalangan umat islam justru semakin dibesar-besarkan oleh para musuh umat islam, dengan tujuan yang sangat jelas, yaitu menghancurkan islam di dunia.

Sebagai sesama muslim, penulis mencoba mengangkat kembali beberapa kisah. Yang mudah-mudahan bisa menjadi teladan bagi umat muslim khususnya di Indonesia. Kisah-kisah ini adalah kisah para ulama pendahulu kita, yang dengan keilmuan mereka, mereka tetap bisa menjaga ukhuwah islam, walaupun mereka mempunyai pendapat berbeda akan suatu hal. Mari kita simak kisah berikut ini:



Baca Juga:

Jika pada tulisan sebelumnya, penulis mengangkat kisah persahabatan KH.Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah dan KH. Hasyim Asy'ari selaku pendiri NU.

Maka pada kesempatan ini, penulis akan mengangkat kisah  KH. Idham Chalid (Ketua dewan Tanfidziyah Nahdlatul Ulama periode 1956-1984) dan Buya Hamka (Ketua PP Mumammadiyah periode 1946-1949).

Dr. KH. Idham Chalid (lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921 – wafat di Jakarta, 11 Juli 2010 pada umur 88 tahun) adalah salah satu politisi Indonesia yang berpengaruh pada masanya. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua DPR. Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan ia pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1956-1984.



Dr. KH. Idham Chalid (lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921 – wafat di Jakarta, 11 Juli 2010 pada umur 88 tahun) adalah salah satu politisi Indonesia yang berpengaruh pada masanya. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua DPR. Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan ia pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1956-1984

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah bergelar Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka (lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – wafat  di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. 



Konon, KH Idham Chalid pernah satu kapal dengan Buya Hamka. Tujuan mereka kebetulan sama (Dalam beberapa artikel kedua tokoh ini disebutkan akan menunaikan ibadah haji). Tidak ada kisah istimewa dari kedua tokoh berbeda paham tersebut hingga waktu shalat Subuh-pun menjelang.

KH Idham Chalid dipersilakan maju sebagai imam shalat. Buya Hamka menjadi makmum. Secara tiba-tiba, pada rakaat ke dua, KH Idham meninggalkan praktek "qunut subuh". Padahal "qunut subuh" bagi kalangan NU ialah sunat ab'ad shalat.KH Idham Chalid memilih untuk tidak doa qunut karena jamaah di belakangnya adalah Buya Hamka.Semua makmun mengikutinya dengan patuh. Tak ada nada protes yang keluar walau ada yang mengganjal di hati.

Keesokan harinya, pada hari kedua, Buya Hamka yang menjadi imam. KH Idham Chalid menjadi makmum. Ketika rakaat kedua, mendadak, Buya Hamka mengangkat kedua tangannya. Beliau berdoa "qunut". Padahal bagi kalangan Muhammadiyah "qunut subuh" tidak termasuk sunat ab'ad shalat. Dan sekali lagi makmum mengikutinya.

Kisah di atas sering diulang kembali oleh alamarhum abah saya. Abah tidak sedang mengajarkan persoalan "khilafiyah" qunut antara kalangan NU dan Muhammadiyah. Beliau sedang mengajarkan kepada saya agar meniru akhlak kedua tokoh tersebut takkala bertemu dengan orang yang berbeda paham.

Para Santri menyebutnya dengan "tasamuh". Orang-orang Jawa mengistilahkannya dengan "tepo seliro". Kita menyebut dengan "tenggang rasa" alias toleransi.

Kisah kedua tokoh di atas agaknya perlu lebih sering kita dengungan kembali. Di tengah-tengah segelintir orang yang mempermasalahkan perbedaan, dan menyelesaikannya dengan tumpahan darah. Di tengah segelintir orang yang dengan mudahnya mem-bid'ah-kan, memusyrikan -bahkan mengkafirkan saudaranya yang muslim.

Bila terhadap non muslim-pun Alquran telah menganjurkan agar menyeru kepada "Kalimah Sawa", maka mengapa kita harus memperlebar jurang perbedaan di antara kita? Mengapa kita harus menghunus pedang hanya karena orang itu berbeda paham dengan kita?



wallahu alam bishawab....

Sumber : nu.or.id, wikipedia, kompasiana.



1 comment:

  1. 🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝

    ReplyDelete