Perbedaan pendapat seringkali menjadi pangkal ketidak harmonisan antar
sesama. Baik itu antar teman, sesama saudara, antar tetangga, hingga perbedaan
antar kelompok keyakinan.
Islam adalah agama dengan jumlah umat terbesar di Indonesia. Akan tetapi,
adanya perbedaan dalam memahami dan meyakini suatu pendapat seringkali
menjadikan umat Islam di negeri ini seolah-olah terpecah menjadi beberapa
kelompok.
Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi, karena hanya akan menjadi konsumsi
bagi musuh umat islam yang sebenarnya. Saat ini, perbedaan pendapat
dikalangan umat islam justru semakin dibesar-besarkan oleh para musuh umat
islam, dengan tujuan yang sangat jelas, yaitu menghancurkan islam di
dunia.
Sebagai sesama muslim, penulis mencoba mengangkat kembali beberapa kisah.
Yang mudah-mudahan bisa menjadi teladan bagi umat muslim khususnya di
Indonesia. Kisah-kisah ini adalah kisah para ulama pendahulu kita, yang
dengan keilmuan mereka, mereka tetap bisa menjaga ukhuwah islam, walaupun
mereka mempunyai pendapat berbeda akan suatu hal. Mari kita simak kisah
berikut ini:
Baca Juga:
Maka pada kesempatan ini, penulis akan mengangkat kisah KH. Idham
Chalid (Ketua dewan Tanfidziyah Nahdlatul Ulama periode 1956-1984) dan Buya Hamka (Ketua PP Mumammadiyah periode
1946-1949).
Dr. KH. Idham Chalid (lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921
– wafat di Jakarta, 11 Juli 2010 pada umur 88 tahun) adalah salah satu
politisi Indonesia yang berpengaruh pada masanya. Ia pernah menjabat
sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II
dan Kabinet Djuanda. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua
DPR. Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan ia
pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun
1956-1984.
Dr. KH. Idham Chalid (lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus
1921 – wafat di Jakarta, 11 Juli 2010 pada umur 88 tahun) adalah salah
satu politisi Indonesia yang berpengaruh pada masanya. Ia pernah
menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali
Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Ia juga pernah menjabat sebagai
Ketua MPR dan Ketua DPR. Selain sebagai politikus ia aktif dalam
kegiatan keagamaan dan ia pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul
Ulama pada tahun 1956-1984
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah bergelar Datuk Indomo, populer
dengan nama penanya Hamka (lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya,
Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – wafat di
Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama dan
sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan
pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut
dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan
aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan
Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor
kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka
sebagai guru besar.
Konon, KH Idham Chalid pernah satu kapal dengan Buya Hamka. Tujuan
mereka kebetulan sama (Dalam beberapa artikel kedua tokoh ini
disebutkan akan menunaikan ibadah haji). Tidak ada kisah istimewa dari
kedua tokoh berbeda paham tersebut hingga waktu shalat Subuh-pun
menjelang.
KH Idham Chalid dipersilakan maju sebagai imam shalat. Buya Hamka
menjadi makmum. Secara tiba-tiba, pada rakaat ke dua, KH Idham
meninggalkan praktek "qunut subuh". Padahal "qunut subuh" bagi
kalangan NU ialah sunat ab'ad shalat.KH Idham Chalid memilih untuk
tidak doa qunut karena jamaah di belakangnya adalah Buya Hamka.Semua
makmun mengikutinya dengan patuh. Tak ada nada protes yang keluar
walau ada yang mengganjal di hati.
Keesokan harinya, pada hari kedua, Buya Hamka yang menjadi imam. KH
Idham Chalid menjadi makmum. Ketika rakaat kedua, mendadak, Buya Hamka
mengangkat kedua tangannya. Beliau berdoa "qunut". Padahal bagi
kalangan Muhammadiyah "qunut subuh" tidak termasuk sunat ab'ad shalat.
Dan sekali lagi makmum mengikutinya.
Kisah di atas sering diulang kembali oleh alamarhum abah saya. Abah
tidak sedang mengajarkan persoalan "khilafiyah" qunut antara kalangan
NU dan Muhammadiyah. Beliau sedang mengajarkan kepada saya agar meniru
akhlak kedua tokoh tersebut takkala bertemu dengan orang yang berbeda
paham.
Para Santri menyebutnya dengan "tasamuh". Orang-orang Jawa
mengistilahkannya dengan "tepo seliro". Kita menyebut dengan "tenggang
rasa" alias toleransi.
Kisah kedua tokoh di atas agaknya perlu lebih sering kita dengungan
kembali. Di tengah-tengah segelintir orang yang mempermasalahkan
perbedaan, dan menyelesaikannya dengan tumpahan darah. Di tengah
segelintir orang yang dengan mudahnya mem-bid'ah-kan, memusyrikan
-bahkan mengkafirkan saudaranya yang muslim.
Bila terhadap non muslim-pun Alquran telah menganjurkan agar menyeru
kepada "Kalimah Sawa", maka mengapa kita harus memperlebar jurang
perbedaan di antara kita? Mengapa kita harus menghunus pedang hanya
karena orang itu berbeda paham dengan kita?
wallahu alam bishawab....
Sumber : nu.or.id, wikipedia, kompasiana.
🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝🤝
ReplyDelete